Mohon tunggu...
Aisha Rizqy Paramitha
Aisha Rizqy Paramitha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

For further inquiries, reach me through the following: E-mail: aisharizqy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Realita Pemberdayaan Wanita di Tempat Kerja di Indonesia

14 Juli 2021   22:00 Diperbarui: 14 Juli 2021   22:04 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
humanresourcetoday.com

Selama beberapa dekade terakhir, gender equality atau kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di dunia kerja telah mengalami peningkatan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa perjuangan untuk kesetaraan sudah berhenti sampai di sana. Mulai dari sektor swasta, organisasi, hingga keanggotaan bisnis memainkan peran krusial dalam mengakselerasi perjuangan menutup kesenjangan gender di tempat kerja. Meskipun wanita mewakili lebih dari 50 persen populasi di seluruh dunia, tetapi hanya 45,3 persen wanita yang memiliki pekerjaan pada tahun 2018. Bahkan, hanya 4 persen kursi dewan di hampir 7.000 perusahaan di 44 negara pada tahun 2017 yang disumbang oleh wanita. Padahal, mengintegrasikan perempuan ke dalam kehidupan ekonomi suatu bangsa diyakini sangat penting bagi masyarakat untuk berkembang; namun, realitanya tidak demikian. Oleh karena itu, sangat penting untuk memeriksa bagaimana para pemain kunci di sektor swasta dapat menerapkan kebijakan yang mempromosikan masa depan pekerjaan yang layak dan didasarkan pada kesetaraan gender yang sejati dan substantif.

Ketimpangan yang berkepanjangan antara perempuan dan laki-laki menjadi isu yang menyebabkan munculnya berbagai permasalahan baru. Dari perbedaan partisipasi pasar tenaga kerja, upah untuk pekerjaan dengan nilai yang sama, keterwakilan perempuan dalam pekerjaan bergaji tinggi, hingga distribusi posisi manajemen. Kekerasan dan pelecehan, termasuk pelecehan seksual, masih menjadi kenyataan bagi banyak perempuan di tempat kerja. Pencapaian pemberdayaan ekonomi perempuan dan kesetaraan gender memerlukan kebijakan proaktif dan transformatif dari berbagai pemangku kepentingan global, termasuk pemerintah, perusahaan, organisasi pengusaha dan pekerja, serta masyarakat sipil. 

Pemberdayaan pada dasarnya adalah proses motivasi dari pengalaman individu merasa diaktifkan. Memberdayakan adalah memberikan kekuatan, sehingga individu memiliki pengaruh atau pilihan pribadi atas perilaku mereka sendiri di lingkungan kerja. Menurut Commission on the Status of Women (CSW) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pemberdayaan perempuan berarti perempuan mendapatkan lebih banyak kekuasaan dan kendali atas kehidupan mereka sendiri. Pemberdayaan bukan hanya prestasi individu atau menilai posisi kekuasaan tertentu, tetapi "cara memberi energi objek individu dan kolektif untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial dan proses emansipasi. Pemberdayaan perempuan berasal dari akar gagasan kekuasaan. Pemberdayaan perempuan mengacu pada peningkatan kekuatan spiritual, politik, sosial, pendidikan, gender atau ekonomi individu dan komunitas perempuan. Oleh karena itu, pemberdayaan berarti perempuan diuntungkan dengan cara hubungan kekuasaan saat ini membentuk keputusan, peluang, dan kesejahteraan mereka. Perempuan yang memilih untuk bekerja dan karena itu menjadi pencari nafkah dalam rumah tangga mereka menempatkan diri mereka dalam posisi ekonomi yang lebih baik dan juga menghasilkan kekuatan untuk memiliki suara dalam bagaimana uang yang mereka bawa pulang dihabiskan dan belum lagi, menegosiasikan tingkat rasa hormat yang lebih baik.

Angka partisipasi perempuan Indonesia di berbagai sektor selama dua dekade terakhir masih mengalami stagnasi. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki hampir dua kali lipat dibanding perempuan, jumlahnya mencapai 83 persen selama tahun 2011-2015. Angka tersebut mengalami penurunan di mana pada tahun 2020, partisipasi pekerja perempuan hanya mencapai angka 54,56 persen dari tahun lalu yang mencapai 55,5 persen. Bahkan pada tahun 2010 Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia sebesar 89,40 persen sementara pada tahun 2018 naik menjadi sebesar 90,99 persen, yang mengindikasikan masih terjadinya kesenjangan gender pada hasil pembangunan. Meskipun kenaikan tersebut patut untuk diapresiasi, tetapi kenaikan sebesar 1,57 persen selama 8 tahun merupakan progres yang sangat lambat, demikian pula dengan indeks pemberdayaan gender atau IDG pada tahun 2010 sebesar 68,15 persen dan pada tahun 2018 berada di angka 72,10 persen. 

Kesenjangan ini terutama disebabkan oleh budaya kerja patriarki dan adanya stereotip gender. Artinya, beberapa praktik akan melemahkan dan memposisikan perempuan berbeda dengan laki-laki. Perempuan berada di bawah posisi pengambilan keputusan strategis di tempat kerja, dan terkadang kebijakan yang diusulkan mendiskriminasi mereka. Berdasarkan studi penerapan Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Perempuan terhadap 50 perusahaan top Indonesia yang dilakukan Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Indonesia Global Compact Network (IGCN), dan UN Women pada 2018, hanya 28 persen perusahaan yang memiliki perempuan di jajaran direksi mereka.

Perempuan rentan terhadap diskriminasi gender karena dianggap tidak memiliki kemampuan fisik yang sama dan dianggap memiliki hambatan dalam kariernya bekerja di ranah publik karena banyak mengambil cuti terkait persalinan. Sampai saat ini masih ada stigma bahwa perempuan hanya bisa menjadi ibu rumah tangga dan harus melakukan pekerjaan sampingan. Oleh karena itu, perempuan tidak diberi peran utama dalam lingkungan kerja, ditambah dengan pengaruh sosial dan budaya, mereka percaya bahwa perempuan tidak perlu bekerja, tetapi hanya perlu tinggal di rumah untuk mengurus keluarga dan anak-anak mereka. Indonesia telah meratifikasi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), termasuk Pasal 180 dan 151 Undang-Undang No. 7 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1984, yang memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan, yang juga menekankan perlunya keadilan. Diskriminasi yang tidak disadari menjadi faktor lain diskriminasi karena penanaman pemahaman pada masa kecil yang menganggap perbedaan adalah hal lumrah. 

Faktor lain yang berkontribusi adalah perempuan di perguruan tinggi memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah daripada laki-laki dan kualitas pendidikan yang tidak merata, sehingga menurunkan daya saing perempuan di dunia kerja. Rasio rata-rata nasional pria dan wanita adalah sekitar 1:1. Namun jumlah tenaga kerja laki-laki sekitar 1,5 kali lipat jumlah tenaga kerja perempuan, sedangkan tenaga kerja perempuan Indonesia hanya mencapai 38,23% dari total angkatan kerja. Artinya, masih banyak perempuan yang belum dapat menembus dunia kerja karena lebih sedikit perempuan yang mengenyam pendidikan formal.

Pemberdayaan perempuan tersebut sebagaimana yang dicanangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam tujuan pembangunan pemberdayaan perempuan yaitu:

  1. Meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan dalam berbagai bidang pembangunan;

  2. Meningkatnya pemenuhan hak-hak perempuan atas perlindungan dari tindak kekerasan; 

  3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan jejaring serta peran serta masyarakat dalam mendukung pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun