Mohon tunggu...
Galeri Cerita Ani Wijaya
Galeri Cerita Ani Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - The taste of arts and write

Kisah cinta umpama sebuah buku. Kau tetap akan membaca selembar demi selembar meskipun telah tahu akhir ceritanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Kingkong

20 Februari 2016   09:17 Diperbarui: 20 Februari 2016   10:07 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ternyata aku salah besar, kadoku tenggelam diantara puluhan hadiah yang berukuran super besar. Dibungkus dengan kertas bermotif menawan, berhias pita berwarna-warni menjuntai. Pasti kado yang kubawa merasa tertindas, merana. Sama seperti aku, yang saat itu hanya bisa melihat gadis kecil pujaanku dari kejauhan. Tanpa sempat mengucapkan selamat ulang tahun, atau sekedar saling melempar senyum.

Ada sesuatu yang menonjok telak dadaku. Mungkin, beginilah yang dinamakan patah hati usia dini, sakit.

***

Sampai lima tahun kemudian, gerakan slow motion yang sama terulang. Tapi bukan seorang gadis kecil, seperti yang kulihat dulu. Ia telah berubah menjadi remaja, yang semakin membuatku membeku, tak berkutik.

Berkhayal, aku berlutut. Memberikan setangkai mawar, lalu berdansa dengan musik yang lembut. Tapi segera buyar, saat temanku menarikku dari khayalan. Kenyataan yang ada saat ini, kami berada di sekolah yang sama. Bukan ball room megah yang tak terlihat batasnya.

Barulah aku berani mengikrarkan diri dalam hati, aku jatuh cinta. Cinta kingkong, bukan cinta monyet, karena usiaku sekarang 17 tahun.

Dalam waktu setahun, sebelum kami kembali berpisah. Aku harus bisa menyampaikan asa yang selama ini terpendam. Pertanyaan muncul, apakah aku, seorang Ruby, berani berikrar di hadapan Sapphira.

Aku selalu berada didekat gadisku. Saat dia baru saja tiba ke sekolah, aku telah setia menunggu di muka gerbang. Menjaga pujaan hatiku, dengan berjalan di belakangnya. Saat hujan turun, aku meminjamkan payung. Membiarkan diriku sendiri basah kuyup. Tapi Sapphira tak pernah tahu, karena aku tak berani menampakkan diri.

Di perpustakaan, saat ia dengan serius membaca buku. Dan keringat membasahi kening halusnya. Perlahan, aku mengipasi dengan lembut. Bahagia melihat wajah teduh dihadapanku ini. Tak ada sapa, tanpa senyum. Tak pernah sekalipun kami bertatapan, ia bahkan tak tahu aku berada disana.

Selayaknya bulan, tanpa kau sadari, seakan terus bergerak mengikuti langkahmu. Ia memberikan cahaya, meskipun tak sebenderang matahari. Menghiasi langit malam di dampingi taburan gemintang. Sapphira, meskipun kau tak pernah melihatku, tapi aku selalu ada disana.

“Terima kasih, Ruby.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun