Mohon tunggu...
Dyah Ayu Satiti
Dyah Ayu Satiti Mohon Tunggu... -

Saat pohon dan kodok terakhir telah hilang..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penghargaan dan Kebutuhan akan Pendidikan

25 Oktober 2013   20:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:02 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Dosen Saya menawarkan membuat skripsi 2 juta Kak. Kalo mau dimudahkan waktu sidang ya tambah 1juta lagi." Seorang kawan di kantor menceritakannya dengan gamblang pada Saya.

Kebetulan kawan Saya itu berusia beberapa tahun di bawah Saya dan menjalankan pekerjaannya sebagai OB di kantor. Segera setelah lulus SMA, Ia bekerja dan tidak melanjutkan sekolahnya. Setahun setelah itu, tepatnya awal semester ini Ia mulai bersekolah lagi. Kuliah di salah satu akademi swasta.

Saya menaruh hormat padanya yang masih berusaha kuliah dengan keterbatasan yang ada. namun sayang obrolan ringan yang berujung ceritanya yang miris di atas tadi, disambut dengan cemoohan kawan-kawan yang lain. "Apa guna kau kuliah kalau seperti itu." Orang-orang mencemoohnya.

Saya jadi ingat obrolan dengan beberapa orang yang keluarganya mencalonkan diri sebagai bupati. Di mana sang calon bupati tiba-tiba mendapat tambahan nama di belakang nama aslinya, -M.M.- dan terpampang jelas di baliho besar di penjuru kota. "Wah hebat bapaknya sudah master." Saya bilang dengan kagum. Saya ingat waktu itu masih jarang orang dengan gelar master, apalagi doktor untuk sekaliber pegawai di kota kecil.

"Dia beli kok Mbak. Cukup dengan 50juta." Kata orang yang terlibat obrolan dengan Saya waktu itu. Saya heran. Tapi ternyata tak berapa lama di koran juga banyak memuat anggota DPR atau pejabat sejenisnya yang menggunakan ijasah palsu. Entahlah... itu sudah cukup lama berlalu.

Di saat kepala Saya dirumitkan dengan pemikiran akan studi lebih lanjut. Bagaimana memilih beasiswa yang pas. Jangankan memilih, bagaimana bisa dapat saja nampaknya mesti Saya usahakan dengan sungguh-sungguh. Bagaimana memilih universitas yang cocok. Mau ambil minat di bidang apa. Kalau apesnya beasiswa ditolak, lalu apa bisa pake tabungan sendiri. Yaaa segala kerumitan yang seolah ada di depan mata. Dan dengan entengnya orang-orang di luar sana, asal punya uang maka selesai sudah.

Hey, tapi tunggu dulu. Jika Saya cermati, rupanya apa yang Saya rasakan mungkin sedikit berbeda. Sepertinya panggilan untuk sekolah lagi itu menjadi sebuah kebutuhan. Yaa kebutuhan yang sepertinya mesti di penuhi. Saya haus akan ilmu. Saya haus akan pemikiran yang lebih luas lagi. Saya haus akan hal-hal yang mungkin bisa Saya lakukan lebih lagi. Bukan sekedar untuk mendapatkan perpanjangan nama.

Teringat seorang guru Saya pernah berkata, "Kalian kuliah S1 itu hanya untuk mengembangkan pemikiran saja. Sebagian besar ilmu di bangku kuliah mungkin tidak akan Kalian gunakan saat bekerja. Tapi yang penting adalah bagaimana pola pikir Kalian terbangun." Ada benarnya juga ucapan guru tadi. Di mana saat masa sekolah dan perkuliahan terjadi, jika akademis dan non akademis seimbang maka akan menghasilkan pribadi yang bisa diacungi jempol.

Lalu bagaimana dengan perubahan esensi pendidikan. Di mana pendidikan setinggi-tingginya itu dikejar hanya untuk sekedar penghargaan dan menggapai jenjang karir yang lebih baik. Semua kembali pada pribadi masing-masing. Toh, bagi Saya sementara ini, pendidikan lebih lanjut adalah sebuah kebutuhan. Kebutuhan sebagai seorang yang masih idealis mungkin. #mencoba optimis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun