Mohon tunggu...
Ainur Rohman
Ainur Rohman Mohon Tunggu... Nelayan - Pengepul kisah kilat

Generasi pesisir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembali Pulang

1 November 2018   08:11 Diperbarui: 1 November 2018   10:06 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kilau matahari pagi menerjang rumah berwarna biru, sinarnya masuk melalui cela-cela jendela kaca, menerobos tanpa terhalang kelambu. Pagi itu tepat pada pukul 08:39 WIB. Seperti biasa selama beberapa tahun belakangan, setelah mengantar anaknya ke sekolah, aktifitas rutin laki-laki paruh baya itu selanjutnya adalah membaca surat kabar di halaman belakang rumah.

Pagi itu sebagaimana dengan pagi-pagi yang telah dulu, melewatkan pagi yang sederhana dengan memakai sarung dan kaos oblong polos, laki-laki itu duduk di bangku setengah reyot sesekali sorot matanya terbelalak, kerutan di dahi ditarik keheranan tampak serius menyimak kabar berita utama di surat kabar pagi, waktu itu.

Sementara perempuan itu sedang merajang, mengaduk dan memilah-milah bahan mentah untuk dimasak di tungku dapur, lantunan suara biduan bergema dari tape recorder butut, seperti biasa perempuan itu memasak sambil mendengarkan deretan tangga lagu favoritnya. Sesekali terdengar suara gaduh saat alat-alat dapur saling bertegur sapa.

Laki-laki itu tersenyum sendiri melihat tingkah pasangannya itu, meski adegan demi adegan itu sudah berulang kali bahkan sudah terlalu sering melihat drama klasik itu di depan matanya, "Pagi yang cerah, menentramkan hati." kata batin laki-laki itu dengan masih tersenyum sendiri.

Dan kamu telah membaca ribuan lembar surat kabar tiap hari namun belum pernah, juga belum menemukan jawaban yang sesuai atas pengalaman yang kamu rasakan saat ini, Meski sudah berulang kali mencoba mencari dan mencari artikel mengenai perasaan yang kamu rasakan setiap hari.

Ulasan berita pada hari itu tentang situasi perang di timur tengah, seakan tiada topik yang lebih menarik lagi selain perang di kawasan gurun tersebut. Konon katanya kata 'perang' itu sendiri berasal dari sana. Walau begitu tetap saja kamu membaca satu persatu, lembar demi lembar halaman kertas surat kabar itu.

Hingga kemudian konsentrasi membacamu buyar, kala gendang telinga kamu mendengar suara tangis khas anak kecil, sayup-sayup suara itu samar terdengar namun semakin lama suara tangis itu makin jelas dan sumber suara tangis itu serasa mendekati dirimu dan kini suara itu terdengar jelas di rumah kamu.

Seketika itu suara musik di dapur tak lagi kamu dengar, dan seolah-olah mendapat bisikan gaib dari langit, perempuan yang sedang memasak di dapur itu berjalan setengah berlari, tergopoh-gopoh dan bergegas jalan ke depan rumah, mencari sumber suara tangisan anak kecil itu.

Kamu berdiri dari tempat duduk, hatimu risau, langkah kakimu tak tenang mengikuti bayangan perempuan itu, kamu ikut-ikutan terseret suara magis itu, suara tangis anak kecil. Langkah kaki pasanganmu telah sampai di pagar rumah, pandangan matamu melihat lurus ke depan tepat di pagar halaman rumah.

Kepala perempuan itu menoleh kepadamu, menampakkan guratan wajah luruh dengan mimik cemas dan mata sayu, sementara kedua tangan perempuan itu membelai rambut gadis kecil itu, kepala mungil gadis kecil itu bersandar pada pundak perempuan itu dan gadis kecil itu masih menangis.

Perempuan itu sesekali menggunakan tangannya untuk menyeka dan menghapus air mata gadis kecil itu dan tak jarang dia mengelap ingus yang menetes dari hidung mungil gadis kecil itu dengan bajunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun