Mohon tunggu...
Faridilla Ainun
Faridilla Ainun Mohon Tunggu... Human Resources - Ibu-ibu kerja

Ibu yang suka ngaku Human Resources Generalist dan masih belajar menulis. https://fainun.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ributnya Tim Bubur Layaknya Pendukung Tim Capres

19 Desember 2018   09:03 Diperbarui: 19 Desember 2018   15:22 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kompas/Wawan H Prabowo

Halo semua, sudahkah Anda 'nyabu' hari ini?

Bukan, bukan nyabu yang berarti 'memakai sabu-sabu' alias narkoba itu. Tapi nyabu = nyarapan bubur, alias sarapan bubur.

Bubur, tepatnya bubur ayam, kerap kali menjadi makanan untuk sarapan atau santap pagi. Bahkan, di masa kuliah saya, di depan kos-kosan mangkal tukang bubur ayam. Paling tidak, seminggu sekali saya 'nyabu'.

Bubur kerap kali menjadi teman bagi orang sakit. Pernah menginap di rumah sakit membuat saya mengetahui bahwa bubur polos tanpa topping apapun menjadi makanan yang disediakan pihak rumah sakit. Teksturnya yang lembut tentu membuatnya lebih mudah dicerna. Sehingga, jika mengalami sakit khususnya di area pencernaan, bubur akan diberikan.

Mungkin karena itu, ketika badan tak enak atau meriang, orang kerap kali memilih bubur sebagai makanan pengganti. Setelah makan bubur, secara perlahan, entah itu tersugesti atau memang bubur memiliki kekuatan untuk menyembuhkan, badan terasa lebih baik.

Layaknya Indonesia yang memiliki beragam makanan dari tiap daerah. Karakteristik bubur di daerah satu dan lainnya pun berbeda. Umumnya, bubur terbuat dari beras lalu memiliki topping seperti suwiran ayam, seledri, daun bawang, irisan telur, bawang goreng, dan kuah kuning.

Di Palembang sendiri saya menemukan bubur dengan kuah coklat kehitaman. Warna yang mengingatkan saya akan bubur pedas di Kalimantan Barat. Bubur tak hanya dari beras saja, ada juga bubur mutiara, bubur sumsum, dan sebagainya.

Kali ini saya tak akan membahas urusan aneka bubur. Saya lebih tergelitik pada postingan seorang teman di Facebook saat 13 November lalu.

Konon, hari 13 November 2018 dirayakan sebagai 35 tahun ke-istiqomahan tim bubur tidak diaduk. 13 November menjadi Hari Bubur Gak Diaduk Nasional. facebook.com/boyhamidy

Entah sejak kapan tepatnya, namun yang saya ingat semua saya ketahui dari Twitter bahwa kini terdapat kubu besar dalam menikmati semangkuk bubur. Tim Bubur Diaduk dan Tim Bubur Gak Diaduk.

Namun semangat ini terpaksa ternodai lantaran pernah ada peristiwa yang melibatkan kedua kubu hingga beradu jotos, dan bahkan mereka harus digelandang ke kantor polisi: ribut persoalan bubur harus diaduk atau tidak. Ya, walaupun sebenarnya ini hanya fiksi semata.

posronda.net
posronda.net
Dua kubu besar ini mengingatkan saya akan pemilihan presiden. Sejak Pilpres 2014, Indonesia terbagi menjadi dua kubu besar, tim cebong dan tim kampret. Tim Joko dan Tim Wowo. Timbul dan Nurbuat, eh maaf itu Srimulat, saya salah.

Mulai Pilpres 2014, terpilihnya presiden saat ini, menjelang pilpres 2019, bahkan mungkin nanti setelah terpilihnya presiden 2019 (ini hanya penerawangan seseorang yang bukan cenayang), rasanya kubu akan terbagi menjadi dua. Genderang perang akan terus bergulir.

Bahaya kah bagi Indonesia? Rasanya iya. Karena satu sama lain saling beradu merasa dirinya yang terbaik.

Ya tak apa sebenarnya, namun klaim terbaik kadang dibumbui dengan serangan satu sama lain. Hal yang mungkin, bagi golongan yang berada di tengah (entah sudah memilih tapi diam saja atau memang masih merasa ragu), hal itu tak perlu diperdebatkan terlalu keras. Terkadang muak melihat orang yang terlalu menganggap super pilihannya.

Pilpres kali ini memang masih sama. Adu mulut antar pendukung masih terjadi. Entah terlihat di dunia nyata atau media sosial. Adu mulut yang bermula dari dua perbedaan yang bisa saja membawa ke taraf adu jotos.

Jujur saja, saya tak pernah menyangka, bubur memiliki kekuatan layaknya sebuah pilpres. Membuat kubu terbagi dua dengan fanatisme terhadap apa yang diyakininya. Bahkan adu perbedaan ini bisa berbuntut melabeli kaum dengan pilihan tertentu. Padahal, semua sama saja.

Pada akhirnya, bubur akan dinikmati, masuk mulut, dan berakhir menjadi kotoran. Pilpres juga bakal dijalani, terpilih seorang presiden, pilihan atau bukan tetap akan ada hujatan. Eh.

Tulisan ini hanya catatan saya semata, yang kagum pada kekuatan bubur yang mampu membagi dua kubu berbeda yang saling berlawanan. Apapun itu, sebagai kaum yang berusaha memilih di tengah untuk sementara sampai saatnya memilih nanti, saya hanya ingin melihat semua saling menghormati tanpa ada caci maki.

Kompal
Kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun