Mohon tunggu...
Ainayya Al Fatikhah
Ainayya Al Fatikhah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hi!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Dampak Otonomi Daerah terhadap Pembangunan Daerah di Surakarta

8 Desember 2022   10:39 Diperbarui: 8 Desember 2022   10:49 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada pemerintahan di Indonesia, terdapat otonomi daerah yang merupakan bentuk penyerahan desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah (Pratomo, 2011). Otonomi daerah akan membuat pemerintah pusat terbebas dari beban domestik yang dirasa kurang penting, disisi lain juga memberikan kesempatan kepada daerah-daerah guna mengalami pemberdayaan sehingga sumber daya daerah dapat dikelola dan dimanfaatkan secara lebih merata (Suparto, 2017). Apabila tidak ada otonomi daerah, maka pengelolaan akan dilakukan oleh pemerintah pusat dan hal tersebut dapat mengakibatkan tidak terfokusnya daerah dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki.

Salah satu daerah yang ditetapkan sebagai daerah otonom adalah Kota Surakarta atau yang dikenal juga sebagai Kota Solo. Secara regional, Kota Surakarta berkedudukan sebagai sentral produksi dan jasa terhadap enam kabupaten di sekelilingnya (Soloraya) sekaligus menjadi "Ibu Kota Budaya Jawa Tengah". 

Berangkat dari dua kedudukan tersebut, pembangunan Surakarta pun mulai mengalami perkembangan dengan dasar pembangunannya dibahas melalui musyawarah rencana pembangunan atau musrenbang (Wijayanti, 2012). Lebih lanjut, kota ini memiliki slogan "Solo, the Spirit of Java" yang bermakna bahwa Surakarta merupakan ruh-nya Jawa. Slogan tersebut merupakan branding dan identitas sebagai Kota Budaya, Kota Pariwisata, dan Kota Perdagangan yang disahkan pada tahun 2008 dengan tujuan untuk mencapai kawasan berdaya saing ekonomi kuat (Nugroho, 2014). 

Selanjutnya, dalam peraturan daerah Surakarta Nomor 6 Tahun 2021 juga telah disebutkan bahwa visi pemerintah Surakarta periode 2021-2026 ialah "Mewujudkan Surakarta sebagai Kota Budaya yang Modern, Tangguh, Gesit, Kreatif, dan Sejahtera" dengan penerapan mekanisme smart city guna mengelola infrastruktur yang dapat memperkuat industri pariwisata dan pemajuan budaya (Pemerintah Kota Surakarta, 2021). Dari sejumlah infrastruktur yang dibangun tersebut, diharapkan mampu menumbuhkan ekonomi dan menyerap tenaga kerja lokal, terlebih ditengah kondisi perekonomian nasional yang turut merasakan dampak dari pandemi COVID-19 (DPR RI, 2021).

Hingga saat ini pun, pemerintah kota Surakarta telah mengupayakan berbagai kebijakan dalam pembangunan daerah. Misalnya pada tahun 2010 lalu, dimana pemerintah kota merelokasi para pedagang kaki lima yang awalnya berada di Monumen 45 Banjarsari, kemudian dipindahkan ke Pasar Klitikan Notoharjo guna mengembalikan fungsi kawasan monumen sebagai bentuk perbaikan wajah kota (Wijayanti, 2012). Ada pula penciptaan open space melalui revitalisasi Taman Balekambang untuk mengembalikan citra budaya yang sempat bergeser akibat adanya kegiatan malam seperti freedom diskotik yang sering dilakukan di taman tersebut (Andini, 2011). 

Selain itu, pemerintah Kota Surakarta juga melakukan revitalisasi Technopark dengan menyediakan berbagai sarana pelatihan seperti keamananan siber, mesin pembelajar, serta pusat penelitian dan pengembangan produk ciptaan Indonesia (Primasasti, 2022). Melihat upaya-upaya dalam pembangunan tersebut, dapat dikatakan bahwa pemerintah kota Surakarta mengembangkan pembangunan demi menambah kenyamanan, meningkatkan estetika kawasan, menyediakan ruang terbuka hijau yang layak, meningkatkan perekonomian masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, serta meningkatkan investasi daerah.

Dari berbagai upaya pembangunan yang telah dilakukan ini turut menjadikan kota Surakarta terpilih sebagai tuan rumah beberapa acara besar, salah satunya adalah Muktamar 48 yang merupakan permusyawaratan tertinggi Muhammadiyah, dimana acara ini mampu meningkatkan ekonomi masyarakat melalui stand bazar (Aditya, 2022). 

Selain itu, ada pula beberapa rangkaian acara G20 yang diadakan di Surakarta, salah satunya adalah TIIWG yang membahas mengenai perdagangan, industri, dan investasi dalam menyambut tantangan global. Dari acara ini pun, Polresta Surakarta mendapatkan hibah berupa mobil listrik patroli pengawalan bekas KTT G20 (Rahedian, 2022). 

Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa pemerintah Kota Surakarta telah mampu melaksanakan wewenang otonominya dengan baik sehingga masyarakat merasakan berbagai dampak positif melalui perkembangan pembangunan, terlebih pada era kepemimpinan Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Surakarta.

Jika ditinjau dari upaya pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah Surakarta, maka dapat ditarik dugaan bahwa pemerintah menggunakan teori pembangunan berkelanjutan dalam melaksanakan kebijakan daerah. Dikutip dari Tay & Rusmini (2019), pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidup masa sekarang, namun disisi lain juga berusaha untuk tidak meninggalkan kerugian bagi generasi mendatang. 

Dalam teori ini, terdapat tiga dimensi pembangunan yakni ekonomi, lingkungan, dan sosial.  Pertama, pada dimensi pembangunan ekonomi di Surakarta dapat dikaitkan dengan revitalisasi Pasar Klewer akibat kebakaran tahun 2014. Setelah pemerintah kota melakukan revitalisasi, kondisi fisik pasar pun berubah menjadi lebih baik karena terdapat perluasan area yang dapat menampung hingga 3.000 kios (Gonta, 2017). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun