Mohon tunggu...
Aina Mufida Irawan
Aina Mufida Irawan Mohon Tunggu... Lainnya - Fakultas Hukum Universitas Indonesia

-

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kasus Gerald Liew: Bagaimana Tindakan Dokter Terawan dalam Perspektif Hukum Kesehatan?

28 April 2022   23:42 Diperbarui: 28 Februari 2024   09:25 1613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

FAKTA

Kilas balik pada 2015 silam, nama dr. Terawan muncul ke permukaan. Publik digemparkan dengan salah satu kesaksian keluarga korban malpraktik dr. Terawan. Awalnya, Gerald didiagnosis memiliki potensi terserang aneurisma (pembengkakan pembuluh darah) dan direkomendasikan untuk melakukan tindakan medis berupa cuci otak dan pemasangan coil. Yakin dengan pendapat dr. Terawan, Gerald pun menyetujuinya. Namun, keganjilan dirasakan oleh keluarga Gerald ketika ia keluar dari ruang operasi. Prosedur yang seharusnya hanya dilaksanakan 30 menit dengan bius lokal justru diselesaikan dalam waktu lebih dari satu jam. Terlebih, Gerald menutup mata seperti tengah dibius total. 

Mengusut lebih jauh, ternyata, coil yang dipasang di otak Gerald mengalami dislokasi dan melukai area otak sekitarnya. Tak mengakui adanya kesalahan medis, dr. Terawan berdalih bahwa coil tersebut berpindah dengan sendirinya. Meski tidak dibawa ke ranah hukum, keluarga Gerald mengatakan bahwa akibat dari insiden itu, Gerald mengalami kelumpuhan, kesulitan berbicara, bahkan memory jumping (Kumparan, 2018).

PROSES TINDAKAN MEDIS

Agar kita dapat lebih memahami proses yang benar dalam tindakan medis, kita perlu memperhatikan beberapa tahap yang akan dijalani (Alexander, 2015). Tahap pertama adalah bagi dokter untuk menanyakan kondisi pasiennya. Dalam kasus Gerald, ia telah menginformasikan mengenai kondisi terakhirnya kepada dr. Terawan. Mereka juga sudah menjalani tahap kedua, yakni pemeriksaan umum seperti mengecek tekanan darah, suhu tubuh, dan kondisi kesehatan. dengan dijalaninya tahap kesatu dan kedua, Gerald didiagnosa berpotensi aneurisma oleh dr. Terawan.

Tahap ketiga merupakan tahapan yang sangat penting, di mana pihak medis meminta persetujuan pasien atas berbagai tindakan medis yang akan dilakukan kepadanya. Dalam informed consent, pihak medis harus memberikan segala informasi seperti risiko dan kondisi yang akan dialami pasien saat dan pascatindakan. Pasien juga perlu diberitahu terlebih dahulu mengenai tindakan apa saja yang akan dilakukan oleh dokter (Fred Ameln, 1991).

INFORMED CONSENT

Informed consent terdiri dari dua aspek, yaitu hak atas informasi dan hak untuk menentukan diri sendiri. Hak atas informasi merupakan hak pasien untuk mengetahui tindakan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya (Anak Agung Gede dan Anak Agung Sri, 2020). Setelah dijelaskan mengenai tindakan medis tersebut, pasien memberi persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis yang ditentukan (Achmad Busro, 2018). Persetujuan tersebut merupakan sebuah wujud pelaksanaan dari hak untuk menentukan diri sendiri yang menjadi kelanjutan dari hak atas informasi. Maka dari itu, terdapat dua unsur utama dalam informed consent, yaitu adanya informasi dan persetujuan pasien (Takdir, 2018).

Dalam kasus Gerald, terdapat kerancuan mengenai terpenuhinya unsur informed consent. Hal ini melihat realitas bahwa pasien berada di ruang operasi selama satu jam lebih, jauh lebih lama dari yang disepakati sebelumnya. Terlebih ia keluar dalam kondisi dibius total, padahal sebelumnya dikatakan bahwa pasien hanya akan mendapatkan bius lokal. Tindakan tersebut tidak diinformasikan dan  disetujui terlebih dulu oleh pihak pasien. Terkait dengan hal ini, terdapat dua kemungkinan. Apabila bius total dilakukan sejak awal operasi cuci otak, dr. Terawan telah melanggar informed consent karena ia bertindak tidak sesuai dengan informasi yang diterima oleh Gerald. Namun, apabila dr. Terawan melakukan bius total dalam rangka menanggulangi risiko kecacatan akibat penempatan coil yang meleset, ia tidak melanggar informed consent. Hal tersebut didasari oleh Pasal 4 ayat (1) Permenkes No. 290 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan, tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Hal tersebut sesuai dengan kondisi pasien yang daerah otaknya timbul luka akibat dislokasi pada coil yang digunakan.

MALPRAKTIK

Meskipun tindakan medis yang dilakukan dr. Terawan dapat dikatakan telah memenuhi standar informed consent, tindakan dr. Terawan sejatinya tetap dapat dikatakan berlawanan dengan standar profesi kedokteran. Suatu tindakan medis dapat dikatakan memenuhi standar profesi kedokteran apabila tindakan tersebut dilakukan secara teliti sesuai ukuran medis. Standar profesi kedokteran menjelaskan mengenai principle of liability seorang dokter dalam menjalankan profesinya (Pelafu, 2015).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun