Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Lainnya - Komisioner KPAI

Untuk Indonesia Ramah Anak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bayang-bayang Pekerja Anak dan Perluasan Makna

8 September 2022   12:46 Diperbarui: 8 September 2022   17:39 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAYANG-BAYANG PEKERJA ANAK DAN PERLUASAN MAKNA

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia, dan keberlangsungan sebuah keluarga, bangsa dan Negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan dalam Pasal 28 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta memperoleh perlindungan dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi.

             Anak merupakan genarasi penerus bangsa yang memilik hak asasi dan hak dasar sejak dilahirkan. Salah satu bentuk hak dasar anak adalah jaminan untuk tumbuh kembang secara optimal, baik dari fisik, mental, sosial dan intelektual. Pada saat ini yang terjadi tidak semua anak dapat terpenuhi hak dasarnya secara optimal, jika melihat kepada ketidakmampuan orang tua secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut. Faktor ekonomi inilah yang menjadikan anak harus ikut bekerja membantu orang tua dalam mencari nafkah dan tentunya yang akan terjadi adalah tumbuh kembang anak tidak akan optimal seperti anak yang terpenuhi hak dasarnya. Kondisi ini tentunya membuat anak dalam situasi rentan tereksploitasi secara ekonomi, serta ketidakberdayaan pekerja anak sering menjadi penyebab terjerumusnya pekerja anak pada jenis-jenis pekerjaan terburuk untuk anak. Hal ini tidak terlepas dari beberapa factor, salah satu yang dapat menjadikan anak pekerja anak adalah perspektif masyarakat yang mengangap anak sebagai properti, kondisi ini memaksa sebagian dari mereka untuk melibatkan anak-anaknya bekerja. Di sisi lain, dari perspektif anak yang mengetahui keluarga mengalami kesulitan ekonomi, mereka secara sukarela membantu keluarganya dengan bekerja.

             Tahun 2022 kita menggaungkan kebangkitan pasca pandemic, situasi anak-anak Indonesia masih terlaporkan menjadi korban pekerja anak. Hingga bulan Juli  laporan di KPAI anak korban eksploitasi ekonomi dan pekerja anak mencapai 24 kasus. Saat ini yang sedang mengemuka adalah kasus dari laporan masyarakat (orang tua) siswa PKL/Praktik kerja lapangan SMK pada sebuah Hotel  berbintang 4 di Kota Bekasi yang diduga melakukan tindakan melanggar hak anak dan dugaan tindakan eksploitasi oleh pihak perusahaan/hotel dengan indikasi over time hingga belasan jam anak-anak melaksanakan PKL. Jika indikasi eksploitasi masuk dalam dunia Pendidikan dan kurangnya pengawasan serta pembinaan, maka betapa kerentanan anak dalam situasi yang eksploitatif tersebut membutuhkan peran dan tanggungjawab yang sangat besar. Bukan hanya mereka yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, melainkan peran dunia Pendidikan, sekolah Dinas dan pengawas serta seluruh kompetensi Guru harus memahami bagaimana Pendidikan tanpa eksploitasi. Dasar hukum PKL diterangkan dalam Permendikbud Ristek RI No 50/2020 tentang Praktik Kerja Lapangan Bagi Peserta Didik.

             Dugaan pelaku eksploitasi oleh dunia usaha yakni perusahaan yang melakukan kerja sama dengan sekolah harus melakukan evaluasi dan terlibat secara proaktif untuk membangun budaya, regulasi serta seluruh aktivitas perusahaan untuk mengintegrasikan perlindungan anak dan mengupayakan keselarasan serta kesesuaian dengan dunia usaha. Jika selama ini adanya kultur dunia usaha yang lebih mengedepankan profesionalitas dan melayani para customer dengan pertimbangan tidak mengenal waktu kerja maka saat dihadapkan dengan siswa PKL dan permagangan perlu mengedepankan aspek perlindungan anak, yakni tidak mempekerjakan lebih dari 8 jam/hari 40 jam perminggu dan kerja di malam hari. Perlu ada titik temu untuk saling menghormati peran dan fungsi, tanpa harus ada yang meras dimanfaatkan ataupun hubungan kerja yang melahirkan gap relasi kuasa. Sebab hubungan tersebut adalah kerja sama bahkan istilah lainnya symbiosis mutualisme, yakni adanya hubungan timbal balik yang seharusnya saling mendukung dalam dunia Pendidikan dan dunia usaha.

             Presiden memiliki Rencana Strategis Dalam Penurunan Angka Pekerja Anak tahun 2020-2024. Rencana ini diharapkan pada tahun 2024 Indonesia akan bebas pekerja anak, sehingga tidak ada lagi anak yang tidak terpenuhi hak dasarnya. Beberapa tahun terakhir pekerja anak dan beragam permasalahannya masih dapat ditemukan melalui pengawasan dan observasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2020 mengenai situasi anak dalam pekerjaan terburuk anak (PBTA) di 19 Kota Kabupaten se-Indonesia. Ada sekitar 160 anak yang diamati langsung, pengawasan menyasar pada anak yang dilacurkan, anak sebagai pemulung, anak sebagai PRT, anak jalanan dan mereka yang bekerja di pertanian.

             Saat anak mendapatkan perlakuan eksploitasi, konsekswensi pidana menjadi sebuah pertaruhan di ranah hukum. Dalam Undang-Undang No 35/2014 tentang perlindungan anak, dieksploitasi secara ekonomi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran kerja atau pelayanan paksa perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ/jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materil, maka dikenai dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan atau denda paling banyak  Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

   Langkah strategis 

             Menyikapi problematika masih maraknya pekerja anak dan perluasan maknanya sehingga berkorelasi dengan Tindakan pidana eksploitasi, beragam Langkah yang harus segera dituntaskan pemerintah yakni pertama advokasi kebijakan dan paying hukum yang harus sinergi dan terselenggaranya harmonisasi. Untuk menunjukkan adanya angka minimum anak boleh bekerja, kemudian adanya anak-anak yang bekerja dalam ruanglingkup kurikulum/Pendidikan dalam Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan peraturan yang jelas pada prinsip-prinsip anak terlibat dalam dunia kerja. Sehingga ruang lingkup PKL yang diatur dalam Permendikbud Ristek RI No 50/2020 tentang Praktik Kerja Lapangan Bagi Peserta Didik dan magang yang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri tidak melahirkan gap dan peluang-peluang penyalahgunaan anak dalam dunia kerja. Untuk itu, harmonisasi regulasi tentu tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang perlindungan anak yang menjamin anak terpenuhi hak dasarnya serta terlindungi dari Tindakan kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi.

             Berikutnya adalah edukasi dan sosialisasi. Bukan hanya setiap kementerian dan Lembaga punya tugas terhadap mainstreaming dan kampanye menghapus pekerja anak, namun pelibatan dunia usaha dan pentahelix mereka pemerintahan dan swasta termasuk tokoh agama dan tokoh masyarakat memiliki perspektif perlindungan anak dan tidak memanfaatkan anak dalam situasi dan kondisi apapun. Koordinasi dunia usaha, dunia Pendidikan dengan bidang perlindungan anak membutuhkan upaya nyata percepatan mainstreaming tersebut, sehingga menyentuh labirin-labirin pemikiran yang awalnya kurang terbangun. Situasi magang dan PKL hendaknya menyepakati aturan berlaku, megenai jenis pekerjaan yang ringan dan tidak menimbulkan dampak kekerasan fisik, psikis dan mengganggu tumbuh kembang anak, berikutnya waktu yang digunakan tidak sampai 8 jam/hari, atau 40 jam/minggu, tidak melakukan pekerjaan di malam hari sejak jam 18.00 sd 06.00 pagi merupakan waktu yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak, sehingga penting dihindarkan.

             Kemudian kontinyuitas pengawasan orang tua dan pihak sekolah. Upaya perlindungan yang dimaksud dapat menjadi pedoman antara sekolah dan dunia usaha dalam menjalankan fungsi-fungsi pengembangan kurikulum dalam Pendidikan. Akan tetapi keseluruhan peran tersebut diketahui dan diawasi secara simultan oleh orang tua dan pihak sekolah. Sehingga bukan hanya kerja sama tersebut selesai melalui SOP atau kesepakatan tanpa pengawasan, melainkan saling monitor dan mengetahui penyelenggaraan sesuai dengan kesepakatan berbagai pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun