"Ya nggak bisa begitu, masa urusan pekerjaan Edo perhatikan, tapi istri sendiri nggak diperhatiin," jawab kakak ipar seraya mengulum bibir dan merangkul bahu Mbak Nur.
Mbak Nur menyerahkan bayinya ke dalam pelukan Mas Edo. Laki-laki itu menyambutnya dengan riang gembira. Ia mencoba menanggapi tingkah istrinya dengan suka cita. Menyaksikan itu, Ibu nampak bahagia. Aku kagum dan miris secara bersamaan.
Seorang perawat datang menghampiri kami, pertanda bahwa sudah waktunya untuk bertemu psikiater. Mas Edo segera menyerahkan bayi Mbak Nur padaku dan terfokus menuntun istrinya berjalan beriringan mengikuti langkah perawat, sementara Ibu mengekor di belakang mereka. Langkah Ibu sempat terhenti dan berbalik menatapku.
"Kamu nggak ikut?"
Aku menggeleng. "Nggak, Bu, Zahra tunggu di sini saja."
"Ya sudah. Jangan melamun ya!"
Aku mengangguk dan menyaksikan semuanya berjalan berbelok ke suatu ruangan. Setelah mereka masuk ke dalam, aku duduk kembali di bangku kayu bercat putih, mendekap sebuah boneka berbalut pakaian bayi yang menawan.
Mbak Nur seharusnya menjadi wanita paling bahagia di dunia satu tahun lalu. Aku membayangkan hidupnya pasti akan sempurna sebagai seorang istri dan ibu. Tapi keponakanku—cucu pertama ibuku—tidak dapat diselamatkan akibat mengalami kegagalan pernapasan beberapa jam setelah dilahirkan. Tangis kakakku pecah memilukan. Dia mengurung diri di kamar, tidak mau bicara, tidak nafsu makan, tidak tidur semalaman. Esok paginya, Ibu melihat Mbak Nur sedang mengobrol asik dengan batal. Tingkahnya yang aneh memaksa kami untuk membawanya ke dokter ahli kejiwaan. Dan setelah itu, tangis Mas Edo yang pecah karena harus merelakan Mbak Nur tinggal di rumah sakit jiwa dan hidup terpisah dengannya. Namun, keluarga kami menerima kepahitan itu dengan lapang dada dan tetap menjalan hidup sebagaimana mestinya.
Aku semula tidak dapat mengerti, bagaimana bisa rasa kehilangan dapat merenggut akal sehat. Namun, kurasa aku mulai belajar seiring waktu yang terus berjalan. Ritual rutin berupa kunjungan hari Minggu yang kulakukan, membuatku menyadari bahwa perasaan yang terlalu dalam dan tidak tersampaikan menjadi alasan kakakku serta pasien lainnya tinggal di sini. Seperti rasa kecewa terlalu dalam yang dialami pria bermata cekung akibat usahanya gulung tikar, rasa bersalah kakak berparas cantik karena sibuk dengan pekerjaan dan jarang pulang hingga ibunya tiada. Mbak Nur pun terlalu mencintai putrinya yang belum sempat dibawa pulang ke rumah. Terlalu dalam rasa cinta itu hingga membawanya pada angan bahagia dan mengaburkan jalan pikirannya. Perasaan seperti itu, akhirnya dapat kupahami di usiaku yang ke-19.
Â
Kini aku justru tidak dapat mengerti, jika Mbak Nur dapat memiliki cinta hingga seperti itu pada putrinya, mengapa ada ibu yang tega mengabaikan buah hatinya?