Mohon tunggu...
NIA
NIA Mohon Tunggu... Penulis - Finding place for ...

- Painting by the words

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terlalu Cinta

15 Maret 2020   17:59 Diperbarui: 12 Januari 2022   08:04 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Plak!

Botol susu kosong mendarat di dahiku. Mbak Nur marah dan tidak mau bertemu denganku. Aku tidak diizinkan menyentuh, bahkan melihat si bayi. Sejak itu, aku duduk terpisah dari mereka ketika menghabiskan waktu di taman. Sejak itu pula, aku melihat sisi lain yang tak kusadari dari Mbak Nur sebelumnya. Senyum yang teramat indah saat ia sedang berinteraksi dengan bayinya. Meskipun bayi itu tidak merespon seperti yang kuharapkan, kebahagiaan kakakku terpancar dari sorot matanya. Karena itu, setelah tiga minggu diacuhkan, aku menghampiri Mbak Nur yang sedang menggendong bayi.

"Bayimu anak yang pintar dan nggak rewel. Dia juga cantik seperti mamanya," lirihku pelan. Mbak Nur menatapku tanpa ekspresi. Aku mengukir senyum dan membalas tatapannya dengan tulus.

"Maafkan aku."

Mbak Nur terdiam satu menit dan akhirnya mengangguk padaku. Dia lalu memintaku menggendong bayinya dan mengajariku cara menimang. Meskipun demikian, aku tetap memutuskan untuk duduk terpisah dari Ibu dan Mbak Nur saat di taman. Aku lebih senang dan nyaman menyaksikan mereka dari tempatku saat ini. Memperhatikan dua orang ibu yang luar biasa, yang sabar dan penuh cinta merawat anak, sikap teladan untuk diriku agar kelak menjadi orang tua yang menyayangi anaknya, dalam keadaan apapun. Suatu hal yang sangat kontra dengan berita yang kubaca di media massa beberapa waktu lalu.

Sebuah suara merasuk ke dalam pendengaranku lagi. Aku meraih ponselku yang menyala. Tertulis nama ‘Mas Edo’ di layar itu.

"Ada di mana? Tempat biasa, kan? Aku baru sampai," ucap kakak iparku segera saat aku menyapa panggilannya. Suaranya bergetar dan napasnya terdengar walau samar-samar.

"Iya, Mas. Dekat ayunan ya. Nggak perlu lari-lari, cukup jalan santai." Aku terkekeh. Telepon berakhir.

Tidak ada lima menit, aku melihat kehadirannya dari sudut taman menghampiri Mbak Nur dan Ibu dengan cara berlari. Tiba waktunya untukku menggabungkan diri.

"Sudah dibilang nggak usah lari-lari, nggak bakal telat juga!" ujarku. Mas Edo hanya nyengir.

"Ibu juga sudah bilang lho sama masmu, Ra, nggak perlu datang. Istirahat saja di rumah karena pasti capek baru pulang tugas ke luar kota," sahut ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun