"Udah pernah ke paralayang?" tanyanya di sela makan siang kami.
Aku mengangguk. "Bukan anak hits Malang kalau belum pernah ke sana," tandasku bangga dengan mulut penuh nasi ayam.
"Ke sana lagi mau?"
Aku memicingkan sebelah mata. "Sesungguhnya aku sedikit menyesal waktu ke sana."
"Kenapa?"
"Sampai di sana cuma lihat pemandangan lampu warni-warni dari ketinggian dan jadi pendonor darah suka rela untuk para nyamuk."
Rizaldy tertawa. "Nggak lihat bintang bertaburan?"
"Tidak ada bintang di langit."
"Itu artinya kamu pergi saat cuaca mendung. Bintangnya tertutup awan. Kalau kita pergi nanti malam, aku yakin akan ada banyak bintang. Cuaca cerah hari ini."
Aku tersungging, berekspresi tak percaya dengan yang dikatakan.
"Percayalah! Aku sempat ambil mata kuliah pilihan meteorologi, jadi bisa membaca pergerakan awan dan menebak cuaca." Rizaldy mencoba meyakinkahku. Tentu saja, aku akhirnya mengangguk. Selesai kuliah pukul delapan malam, kami pergi ke daerah Batu, Malang, menuju Paralayang dengan penuh kegembiraan. Aku tak tahu, bahwa menyetujui pergi dengannya hari itu akan membuatku menyesal dan melalui banyak hari suram.