"Oh?" Raut wajah Nadia berubah mendung, merasa menyesal karena termasuk orang yang suka bercanda berlebihan.
"Di awal kedekatan kami, aku juga pernah ngajakin dia ikut salat. Iseng aja ngomong begitu dan enggak ada maksud apa pun. Tapi akhirnya dia nggak ngomong sama aku hampir seminggu. " Aku mengenang kejadian masa lalu. "Untung saja waktu itu aku sakit, akhirnya dia luluh dan kami berbaikan. Setelah kejadian itu, sama sekali aku enggak iseng dengan urusan begitu lagi. Kelewatan juga sih, menurutku."
Nadia dan Gita nampak sepakat.
"Kalau dibalik gimana? Kamu yang diajakin dia." Gita menatapku tajam.
Aku terdiam. Diam yang cukup lama bagi Gita, sehingga dia berkomentar yang membuat diriku tertampar.
"Imanmu tak sekuat dia, Sa. Aku curiga cintamu padanya lebih besar dibanding cintamu pada Sang Pencipta."
Aku tertunduk. Mataku tiba-tiba memanas entah mengapa. "Aku sukanya sama dia. Gimana dong?" Suaraku bergetar. Hatiku terasa sakit.
Tidak ada komentar apa pun yang kudengar. Karena itu aku bersuara, "Bukankah Tuhan juga Maha membolak balikkan hati manusia? Berarti kalau saat ini aku suka sama Rizaldy, itu pun karena kehendak Tuhan dong?"
Gita memiringkan kepala ke kiri. Satu alisnya terangkat, pertanda sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya, lalu berkata pelan, "Tapi manusia tidak pernah tahu dengan jelas maksud dari rencana Tuhan."
"Kenapa dari banyak laki-laki seiman, justru hatiku jatuh ke dia?"
"Tuhan punya rencana. Bisa jadi ini ujian untukmu. Tuhan ingin tahu apakah kamu tetap setia pada-Nya atau lebih memilih hamba-Nya."