Maka, ketika malam kembali tiba, permasalahan itu menjadi topik obrolanku dengan Nadia dan Gita di tengah acara menyantap nasi goreng rempah.
"Karena dia duduk di sekitaran masjid, jadi orang-orang akan lebih mudah memiliki persepsi kalau dia datang untuk ibadah." Gita beropini. Cukup masuk akal.
"Gimana dengan kasusku? Aku juga sering diajakin ikut kebaktian dan ditanya bergabung di gereja mana dari pada diajakin salat jamaah. Pertanyan kayak gitu sudah terjadi sebelum aku dekat dengan Rizaldy. Meski sekarang dekat pun, aku enggak pernah nunggu dia di depan rumah ibadah saat dia sedang berdoa. Aku pasti lebih memilih untuk menunggu di warung dekat gereja," ungkapku pada sebuah realita yang cukup lama kupendam. "Ah, bahkan waktu awal perkuliahan kalian juga sering banget ninggalin aku salat," tambahku.
"Kalau itu nasibmu sih, Sa!" sarkas Nadia. Dia nyengir memandangku, memastikan aku tidak marah.
"Kalau masalah itu, aku enggak bisa berargumen, orang punya penilaian sendiri. Tapi, kita dulu sering ninggalin kamu salat sendirian karena kukira kamu bukan muslim." Gita tersenyum. Aku memanyunkan bibir, sedih sekali.
"Lebih tepatnya kami ragu ngajakin kamu atau enggak. Jadi, kita putuskan untuk enggak bertanya karena takut kamu akan tersinggung. Tahu sendiri ‘kan, masalah keyakinan di negara kita cukup sensitif dan pribadi." Nadia mengutarakan isi pikiran.
"Sejujurnya, aku menyimpulkan kalau kamu bukan muslim karena kamu enggak berhijab." Kejujuran Gita membuatku terkejut. Semudah itukah menyimpulkan keyakinan seseorang hanya melalui penampilan? Meski begitu, aku mencoba memahami hingga muncul pertanyaan baru.
"Kalau teman-teman yang selalu ngajakin Rizaldy salat padahal udah tahu keyakinannya, itu kenapa?" Jujur saja, aku mencoba menjadi anak polos.
Gita dan Nadia tertawa.
"Itu ‘kan bercandaan anak-anak, Lisa. Kami semua tahu kalian sedang dekat. Kali aja Rizaldy mau pindah. Ya, kan?" Jawaban Nadia sesuai dugaan. Mereka hanya bercanda.
Aku menggeleng tegas. "Rizaldy paling enggak suka kalau dibercandain urusan itu. Tapi dia nggak bisa mengungkapkannya karena menghargai kita. Pada akhirnya, dia mencoba sabar, tapi juga di saat yang sama dia merasa tidak dihargai."