"Cuma satu ya," dengusku sambil memasang wajah kesal.
"Cuma satu, apa baru satu?"
"Ronde keduanya nanti di mall," timpalku. Kami tertawa hingga suatu panggilan terdengar dan menghentikan suara kami.
"Mau salat di mana? Masjid atau musola di mall?" tanyanya sesaat setelah azan selesai berkumandang. Aku bergumam panjang, meliriknya untuk meminta saran. Dia pun bersuara, "Baiknya sih di masjid."
Aku mengangguk-angguk. "Oke deh!"
"Masjid biasanya, kan?"
Aku mengangguk lagi. Dia mulai bangkit dari tempat duduk. Aku menahan lengannya. "Eh, enggak makan dulu?"
"Enggak deh. Masih kenyang." Dahinya berkerut. Mata indahnya menatapku yang masih duduk anteng. Seringainya pun terbit. "Kenapa? Lisa pengin bungkus seporsi bakso lagi buat dimakan nanti?" tanyanya dengan nada meledek.
"Apaan sih!" Kulempar tisu bekasku ke arahnya. Dia hanya terkekeh, begitu pun aku yang nyengir sembari berdiri.
Kami meninggalkan warung bakso menuju lokasi selanjutnya untuk menunaikan salat zuhur. Sesekali kami berbincang memuji udara. Semilir angin usai hujan teramat sejuk. Sensasi dingin yang membelai wajah ditambah dengan aroma petrikor yang khas berhasil mengusir penat dalam pikiranku. Jangan lupakan juga kehadirannya yang memperindah nuansa di hari Minggu kala itu.
Inilah kami. Lisa dan Rizaldy. Sepasang sahabat yang dalam tanda kutip sudah saling mengenal sejak tiga tahun lalu. Ya, dalam tanda kutip. Itu adalah sapaan untuk kami dari teman-teman satu angkatan di kampus. Mereka sangat tahu—aku dan Rizaldy juga sadar—bahwa dibalik persahabatan kami terpendam rasa yang seharusnya diungkapkan dalam suatu hubungan yang lebih serius. Rasa yang terlahir enam bulan lamanya. Dimulai dari satu kelompok praktikum, sering mengerjakan tugas bersama, makan bersama, pulang bersama hingga menyusun serta mencocokkan jadwal kuliah agar sama. Aku dan Rizaldy juga memiliki banyak kesamaan, seperti menyukai seni dan jenis musik yang sejenis sampai hal sederhana berupa warna dan makanan favorit.