Mohon tunggu...
NIA
NIA Mohon Tunggu... Penulis - Finding place for ...

- Painting by the words

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanda Cinta

23 Desember 2019   15:10 Diperbarui: 12 Januari 2022   08:36 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rizaldy mengangguk. Seulas senyum masih tertinggal di parasnya. "Aku tahu. Aku sudah melihatnya,”lirihnya.

Kami terdiam.

"Terima kasih ya," ucap Rizaldy. Bulir air mata mengalir di pipinya. Aku dibuat nanar sekadar menyaksikannya seperti itu. Sakit sekali rasanya, seperti luka yang terkena percikan cuka. Perih sekali.

"Maaf," ucapku tertatih. Sungguh, aku tidak mampu lagi membendung air mataku sendiri. Jadi, kubiarkan mereka berderai sepuasnya, berharap kesakitan ini segera pergi. Rizaldy kembali mengeratkan genggaman di bahuku. Kupandang laki-laki baik hati di hadapanku. Wajahnya penuh penerimaan.

"Tidak ada maaf untuk sebuah keputusan terbaik. Oke?"

Aku terisak. Rizaldy mendudukkanku di kursi, sedangkan dirinya berlutut di depanku. Tangannya yang lembut menyeka sisi wajahku yang basah.

"Kelak luka ini akan sembuh, Lisa. Kisah ini akan tetap menjadi bagian yang indah untuk dikenang. Kamu akan tertawa mengingat air matamu yang tumpah hari ini. Tuhan punya rencana untuk kita," ucapnya bernada lembut. Dia terus menemaniku hari itu. Menunggu sampai air mataku terhenti. Menunggu sampai diriku merasa lebih baik. Setelahnya, Rizaldy mengantarku pulang. Aku tidak pernah menyadari bahwa tindakan itu akan menjadi yang terakhir kalinya. Dinding tinggi yang terbangun di antara kami sejak awal, kini terlihat sangat jelas.

Bunga mawar darinya kuletakkan dalam gelas kaca berisi air, kutempatkan di atas meja belajar. Perlahan kubuka tas kado pemberiannya, kukeluarkan isinya. Sebuah kain panjang panjang merah muda dengan motif bunga sederhana di bagian ujung, cantik sekali. Bersamaan saat aku mengeluarkan kerudung itu, sepucuk kertas lipat kecil menempel di atasnya.

'Tuhan adalah segalanya. Aku berdoa untuk kebahagiaanmu.'

Aku tersenyum membaca kalimat itu. Tersenyum miris diiringi air mata. Bukan lagi perih yang terasa. Bukan karena hatiku sedang terluka. Namun, aku baru saja menyadari bahwa kalimat tersebut benar adanya. Tuhan adalah segalanya. Maka, dengan keputusan hijab yang kuambil, biarlah menjadi tanda cintaku pada Sang Pencipta.

Tak apa jika aku kehilangan cintaku dan hatiku menjadi patah, aku masih memiliki Tuhan yang kuyakin akan menyatukan kembali patahan itu dan menjadikannya utuh meski dengan bekas retakan terukir di permukaan. Biarlah bekas retakan itu menjadi tanda serta pengingat bahwa tidak satu pun kisah berlalu sia-sia, termasuk hubungan yang kumiliki dengan Rizaldy. Tanpa bantuannya, jika Tuhan tak pernah mempertemukanku dengan Rizaldy, aku tidak akan menjadi seperti Lisa yang sekarang. Tak masalah jika malam itu aku menangis amat banyak. Karena di hari esok aku akan tetap menjalani hidup sebaik mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun