Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Bibir Terluka Sehabis Diisap

3 Desember 2020   09:23 Diperbarui: 3 Desember 2020   09:30 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sore yang ramai sehabis hujan. Hari Sabtu memang melegakan karena beban pekerjaan ditanggalkan sejenak. Berbeda dengan hujan beberapa kali sebelumnya yang mem-PHP petani, Desa Matani hari ini berkelimpahan hujan. Ini bukan hanya kemurahan alam, melainkan juga pawang hujan murahan yang seenaknya menyetir fenomena alam karena beberapa helai kertas bertulisan 20.000. Hujan juga harus lulus sensor proyek untuk tiba di Matani.

Jalan raya di Jalan Claret, yang bertatapan dengan gerbang Kampus Politani, sore itu (28/10), mendadak macet, berantrian panjang. Tidak seperti biasanya, kedua sisi ruas jalan sepi. Pengendara tak ber-Sim pun bisa sempoyangan melarikan kendaraannya. Rupanya jalan raya yang berada di bibir Kabupaten Kupang dan Kota Kupang yang selama ini rusak tercabik-cabik sedang mendapat perawatan dari segerombolan orang yang tidak pernah kelihatan batang hidungnya di desa ini.

Ironi memang. Area bibir selalu menjadi idola banyak orang, area sensitif yang enak diisap-isap, tetapi sehabis manis, sepah dibuang. Jalan di Desa Matani bak bibir terluka yang ditinggali sehabis diisap. Setelah puas diisap, digigit sampai berdarah-darah, terluka parah, ditinggal begitu saja tanpa perawatan. Tiba-tiba, mungkin karena 'mimpi basah' semalam suntuk, hari ini bibir terluka jalan Desa Matani mendapat kunjungan mendadak oleh sekelompok orang. Bibir yang lama diperkosa ini dirawat secara darurat.

Lubang hampir di semua sisi jalan yang disebabkan oleh Truck berkapasitas di atas 10 Ton diisi oleh tanah ala kadarnya. Jalan ini sudah rusak 'parah' tiga tahun terakhir, tetapi baru dilirik saat awal musim hujan. Itupun diperbaiki bukan dengan Semen dan Aspal untuk mengembalikan paras indahnya yang dulu pernah menyaingi "hotmix" arena tarung Formula 1 Lewis Hamilton dan kawan-kawan.

Tanah putih yang akan menjadi lumpur usai diguyur hujan adalah tambalannya. Tanah ini dipaksa mengisi posisi yang ditinggalkan aspal berminyak karena dihempaskan kendaraan raksasa. Soal kualitas, mungkin tanah ini terendah. Apalagi harga, tidak ada negosiasi karena murahan.

Namun, barang murahan justru laris di akhir tahun, momentum berfoya-foya. Untuk apa uang negara? Untuk dihabiskan. Supaya tahun depan anggaran ditambahkan, harus dihabiskan tahun ini sampai ada minusnya. Ciptakan program kerja mendadak yang hanya memerlukan sekian kecil persen anggaran bisa mengisi pulahan persen pos anggaran. Operasi darurat seperti ini efektif untuk menaikan budget anggaran tahun berikut sekaligus mengisi kantong pribadi yang sudah penuh hingga bertaburan seperti hujan di Desa Matani.

Siapa yang mengetahui akhlak mulia di atas? Mungkin semua orang. Siapa yang berani membuka aib dari perawakan mulia di atas? Bersyukur kalau ada satu atau dua orang. Jalan itu bukan jalan masuk ke halaman rumah saya atau saya juga turut mencicipi ongkos kue untuk operasi luka bibir jalan Desa Matani.

Banyak jalan dengan kondisi serupa dapat kita jumpai di sekitar wilayah Kupang, wajah ibu kota provinsi, bisa dibayangkan paras jalan raya yang tidak tertangkap "google map"? Tidak mungkin dilirik bila tidak ada 'fulus'-nya. Padahal banyak mata elang berkeliaran di tanah kita. Apa masalahnya sampai dibiarkan sekarat, diperbaiki asal-asalan? Apakah sulit untuk memahami kebutuhan riil semacam ini? Apakah berlapis-lapis pertimbangannya?

Siapa yang bertanggung jawab?

Perbaikan mendadak di musim hujan jalan Desa Matani adalah potret representatif inkompetensi teknis, kepemimpinan, dan etis para pejabat publik (J.S. Bowman, 2012). Ketidakmampuan dalam mengobservasi masalah sosial, membaca kebutuhan masyarakat, merencanakan strategi penanganan, dan evaluasi berkonsekuensi langsung pada kesembrawutan mengurus fasilitas publik.

Anehnya pejabat publik tidak pernah merasa malu dan salah terhadap rakyat yang membayar pajak tak henti. Mungkin nuraninya sudah tumpul karena mengunyah kerikil uang rakyat yang seharusnya dipakai untuk menyediakan infrastruktrur yang memadai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun