Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Agama, Dagangan Lama yang Masih Laris

11 Juli 2020   08:01 Diperbarui: 11 Juli 2020   07:59 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hingga Jumat kemarin (10/07/2020, Kompas.com), kasus pasien terjangkit Corona di Indonesia sudah mencapai 72.347 terhitung sejak 2 Maret 2020. Jumlah ini masih terbuka kemungkinan untuk bertambah di fase "New Normal".

Pemerintah menerapkan kebijakan "New Normal" dengan maksud "mindset" dan pola perilaku warga berubah, kita berkawan dengan virus Corona, tetapi rupanya intensi Pemerintah tidak diterjemahkan dengan baik oleh warganya.

Orang kembali beraktivitas tanpa perubah pola perilaku. Protokol kesehatan yang diperintahkan Pemerintah dengan ancaman sanksi tegas tidak banyak berefek. Di mana-mana kita masih menemukan panorama physical distance atau social distance dan pemakaian masker tidak diindahkan seperti era pra-Covid-19.

Faktor lain yang memungkinkan penambahan korban adalah belum ditemukkannya vaksin. World Health Organization (WHO) mengklaim bahwa jangka waktu kemungkinan  penciptaan vaksin virus global ini berkisar satu tahun.

Intrik politisasi wabah global ini dan vaksinya akan semakin mempersulit kolaborasi positif-kreatif untuk menciptakan penawar yang sangat bermanfaat untuk ras manusia.

Meskipun curva pandemik Covid-19 kelihatan semakin menanjak, Pemerintah RI menegaskan bawah Pilkada serentak di sekitar 250 area, termasuk di zona merah tidak bisa ditunda (CNN Online, 08/07/2020). Negara ini mau tidak mau harus melaksanakan pesta demokrasi di tengah tragedi global dan domestik.

Menariknya, di dalam konteks krisis kesehatan global seperti ini, potret politik Indonesia tidak melirik ancaman atas ras manusia sebagai PR besar bangsa dan layak menjadi isu tawaran politik, malah masih berkelahi soal dasar negara yang secara legal sudah selesai sejak 17 Agustus 1945: tetap Pancasilais yang nasionalis atau khilafah. 

Momok komunisme yang sudah utopis di Indonesia masih turut dibawa. Logis saja, karena raison d'etre kelompok ekstrimis yang terluka lama adalah memusuhi lawan. Bila tidak ada musuh riil, mereka akan menciptakan musuh fiktif seperti komunis.

Tidak penting kebenaran korespondensinya, yang diutamakan adala efektivitas pengaruh ideologis dan indoktrinasinya terhadap para konstituennya yang kurang akal dan pekerjaan.

Di republik, sejak berdirinya bangsa ini, agama selalu menjadi "brand" yang magnetis untuk dipasarkan. Pada setiap putaran PEMILU, menu agama selalu berada di urutan pertama, entah apapun rasanya. Bila kita sejenak membuang mata ke lorong sejarah peradaban global, kita menemukan sejarah relasi intim agama dan politik boleh dikatakan setua peradaban manusia.

Sejak era Mesir kuno, Babilonia, dan Yunani klasik, eksistensi dewa-dewi dan moralitas dikaitkan dengan pemerintah dan negara (Bdk. Russel, 1945). Kemunculan kaum Kristen dan Muslim semakin mempererat pelukan kedua instansi ini. Hingga sekarang kita masih menyaksikan kemesraan relasi agama dan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun