Tidak ada yang baru dari argumen para penolak judicial review pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP. Hal itu disampaikan oleh Dr. Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si. yang menjadi salah seorang narasumber dalam Seminar Kebangsaan “Reformulasi KUHP Delik Kesusilaan dalam Bingkai Nilai-nilai Keindonesiaan” di Komplek MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta (26/09).
“Dari sidang-sidang yang sudah kita jalani bersama, kita dapat melihat bahwa argumen para penolak judicial review itu sudah tidak berkembang lagi,” ungkap Heru.
Pandangan tersebut disampaikan karena sidang sudah cukup berlarut-larut, namun para ahli yang dihadirkan oleh pihak terkait yang menolak judicial review tidak menghasilkan argumen yang baru.
“Argumen para penolak judicial review itu-itu saja, dan kemungkinan tak kan bertambah lagi. Mereka akan berbelok ke arah overkriminalisasi, soal penjara yang makin penuh, argumen itu sudah berulang-ulang mereka sebutkan,” ujar Heru.
Soal penjara yang akan semakin penuh jika perzinaan dianggap sebagai pelanggaran pidana, hal itu sudah berulang kali dinyatakan kekeliruannya. “Persoalan yang paling penting adalah apakah masalah kesusilaan yang dibicarakan ini benar-benar krusial dan membahayakan masyarakat jika terus dibiarkan. Bukan masalah kapasitas penjara,” tandasnya.
“Argumen lainnya yang juga sering digunakan adalah soal hak privat, tentu saja dengan pandangan ala liberalisme. Seks adalah urusan privat, negara tidak usah ikut campur, ini urusan tubuh saya. Itu semua juga sudah berulang kali disampaikan,” lanjutnya.
Karena telah berulang kali disampaikan dan berulang kali pula dibantah, maka tak ada lagi alasan menolak judicial review tersebut.
“Masyarakat tidak perlu ragu untuk mendukung uji material ini, karena mereka sendiri yang merasakan akibat dari masalah-masalah kesusilaan di tengah-tengah mereka. Kita juga tidak perlu terlalu lama beradu argumen, apalagi jika argumennya masih itu-itu lagi,” pungkas Heru.