Ada pihak-pihak tertentu yang berusaha memecah-belah bangsa dengan melakukan stigmatisasi. Hal itu disampaikan oleh Dr. Hamid Chalid, Wakil Rektor UI, di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang judicial review sejumlah pasal kesusilaan dalam KUHP, Selasa (23/08) yang lalu.
Menurut Hamid, setiap kali ada peraturan yang bertentangan dengan kepentingan kaum liberal, maka stigmatisasi akan digunakan kepada kelompok masyarakat tertentu. Hasilnya, masyarakat terpecah-belah, dan kepentingan bersama terabaikan.
“Stigmatisasi, misalnya, dilakukan dengan memberi sebutan ‘Perda Syariat’. Pada kenyataannya, tak pernah ada peraturan daerah yang menggunakan nama itu,” ungkap Hamid.
“Karena stigmatisasi tersebut, maka perda yang sebenarnya sudah disepakati kebenarannya oleh masyarakat lokal dari seluruh kelompok agama itu dicitrakan buruk. Contohnya perda-perda yang melarang peredaran miras. Biarpun seluruh kelompok masyarakat menghendaki pelarangan miras, tetap saja media menyebut nama ‘Perda Syariat’,” ujar Hamid lagi.
Hal yang sama, menurut Hamid, juga terjadi pada permohonan judicial review terhadap pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP ini. Sebenarnya, baik perzinaan, pemerkosaan dan hubungan sesama jenis, semuanya dianggap sebagai pelanggaran oleh setiap agama di Indonesia.
Dalam naskah permohonan yang diajukan kepada MK, Tim Advokasi untuk Indonesia Beradab telah mencantumkan pandangan dari seluruh agama terhadap perzinaan, pemerkosaan dan hubungan sesama jenis.
“Permohonan uji material ini bersumber dari keresahan seluruh masyarakat. Kami hanya ingin menjalankan amanat Pancasila dan UUD 1945 dengan sebenar-benarnya,” ujar Feizal Syahmenan, SH., MH., Ketua Tim Advokasi untuk Indonesia Beradab.