Mohon tunggu...
Aidilla Lungguh Arumdipta
Aidilla Lungguh Arumdipta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

Aidilla adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember. Merupakan seseorang yang menyukai persoalan budaya global, media komunikasi, serta teori hubungan internasional. Hobi dalam membaca literasi fiksi dan mendengarkan musik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lika-liku Pasar Minyak Sawit Indonesia-Eropa dengan Hambatan Non Tarif

11 Maret 2023   09:17 Diperbarui: 11 Maret 2023   09:28 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hambatan non tarif merupakan pembatasan perdagangan internasional menggunakan instrumen selain tarif seperti pajak, kuota, atau embargo. Hal ini umumnya diatur dalam perjanjian perdagangan multilateral General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) juga pada UU Nomor 7 tahun 1994. Salah satu pokok pembahasannya adalah kewajiban negara anggota untuk sebisa mungkin mengurangi hambatan non-tarif dalam perdagangannya. Meskipun telah bergabung, Indonesia masih menerima dampak dari hambatan ini dari salah satu pasar terbesarnya, Uni Eropa. Maka bagaimanakah strategi kedua negara dalam menghadapi dinamika tersebut?

Terdapat beberapa metode dalam melakukan hambatan non tarif. Pertama, adanya standarisasi produk impor untuk memastikan pemenuhan standar kualitas negara. Lembaga yang berwenang di Indonesia adalah Badan Standar Nasional dengan indikator Standar Nasional Indonesia (SNI). Kedua, pembatasan jumlah kuota impor dengan harapan meningkatnya persaingan produk domestik. Selanjutnya merupakan pengesahan regulasi khusus yang dapat membatasi gerak produk impor dan mendorong ekspor. Salah satunya adalah subsidi domestik yang dilakukan Uni Eropa untuk meringankan biaya produksi produk lokalnya.

Negara tidak mencapai keputusan ini tanpa alasan, umumnya terdapat beberapa justifikasi dalam aplikasi hambatan non tarif. Pertama untuk memelihara lapangan kerja dalam negeri dari persaingan yang mengancam industri domestik. Kedua, untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak memenuhi standar negara. Hal ini biasanya terjadi pada produk yang memiliki dampak negatif pada lingkungan atau kesehatan. Selanjutnya adalah sebagai upaya untuk melindungi persaingan bagi infant industry. Perlindungan tersebut dilakukan dengan harapan industri baru dapat tumbuh lebih kompetitif di pasar internasional. Terakhir, dilakukannya hambatan sebagai reaksi dari langkah negara lain untuk mempertahankan persaingan perdagangan.

Hambatan oleh Eropa

Pada awal tahun 2013, pasar minyak kelapa sawit Uni Eropa-Indonesia dihadapi oleh hambatan non tarif. UE sebelumnya telah mengimplementasikan standarisasi oleh badan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sertifikasi ini bertujuan untuk meningkatkan komitmen produsen dalam mengolah produk berkelanjutan serta konsumen dalam membeli produk yang telah disertifikasi. Dinamika dimulai ketika terdapat tuduhan bahwa produk kelapa sawit Indonesia tidak ramah lingkungan, meskipun sejumlah 110 perusahaan sawit Indonesia telah diakui oleh RSPO.

Alasan terpopuler yang melatarbelakangi hal ini adalah adanya persaingan pasar minyak kelapa sawit Indonesia dan minyak nabati UE. Argumentasi ini sesuai dengan konsep proteksionisme infant industry yang belum memiliki kestabilan kapabilitas ekonomi. Namun selain itu, UE menunjukkan keinginannya dalam melindungi konsumen dari produk yang mencemari lingkungan. Meskipun telah diakui RSPO, kelapa sawit Indonesia tidak memenuhi standar kebijakan Renewable Energy Directive terutama persoalan deforestasi lahan. Regulasi tersebut mulai diimplementasi pada tahun 2020 serta akan berlaku total pada tahun 2030. Produk CPO Indonesia berada pada klasifikasi resiko tinggi Indirect Land Use Change (ILUC) sehingga otomatis tidak dianggap sebagai sumber energi terbarukan yang menjadi fokus perdagangan Uni Eropa. 

Beberapa bentuk hambatan non tarif yang dilakukan adalah kampanye dan tekanan dari NGO. Aksi kampanye negatif bahkan telah berlangsung semenjak tahun 1979, ketika Indonesia mengembangkan perkebunan swasta diatas lahan petani kecil. Hal ini kemudian menjadi perhatian pemerintah pada tahun 2008 saat kampanye media mengenai kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh produksi kelapa sawit dilakukan secara masif. Selain itu, tekanan dari organisasi Greenpeace dan WWF berhasil terhadap pemerintah berhasil membentuk persepsi masyarakat serta adanya kerjasama bersama RSPO. 

Langkah pembatasan ini memiliki beberapa dampak bagi pasar perdagangan Uni Eropa dan Indonesia. Beberapa diantaranya seperti penurunan citra industri CPO di lensa internasional, harga CPO di beberapa provinsi, serta aktivitas petani kelapa sawit Indonesia. Meskipun dalam rentang waktu singkat akan mempengaruhi harga komoditas CPO, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai bahwa dinamika ini tidak akan berpengaruh signifikan pada kuantitas ekspor CPO Indonesia. 

Respon Indonesia 

Pembatasan yang dilakukan oleh Uni Eropa dinilai sebagai diskriminasi produk oleh pemerintah Indonesia dan memicu respon sebagai pihak terdampak. Indonesia menunjukkan penentangannya melalui gugatan pada Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Gugatan tersebut dilakukan dengan dasar anggapan bahwa kebijakan yang dilakukan Uni Eropa telah melanggar prinsip WTO. Tahap awal gugatan dalam bentuk konsultasi telah dikirim pemerintah Indonesia pada Desember 2019. Sebelumnya, penolakan ini juga telah disampaikan pada berbagai forum bilateral seperti IEU-CEPA dan pertemuan WTO. 

Selain memberikan gugatan, Indonesia melakukan respon melalui kebijakan hambatan, kampanye, dan pertanggungjawaban lingkungan. Regulasi tandingan Indonesia dilakukan melalui pembatasan ekspor pada produk nikel meskipun telah menjadi negara eksportir terbesar kedua bagi UE. Selanjutnya, Indonesia juga melakukan kampanye media sosial untuk mempromosikan minyak kelapa sawit. Hal ini juga dilakukan secara spesifik pada beberapa negara importir CPO melalui pameran dan festival. Terakhir, Indonesia melakukan berbagai langkah akuntabilitas lingkungan, seperti mengeluarkan metode sertifikasi CPO melalui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), meratifikasi Perjanjian Paris, serta menerbitkan pembaruan dalam perizinan sektor sawit dan tambang. 

Salah satu langkah lainnya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam menanggapi hal ini adalah melakukan review berkala terutama mengenai instrumen non tarif. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti proses Regulatory Impact Assessment (RIA) serta kebijakan Non-Tariff Policy Guidelines ASEAN. Peninjauan kembali tersebut diharapkan dapat membantu dalam menciptakan kondisi perdagangan yang lebih strategis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun