Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Ini Alasan 'Jancuk' Jakarta Terdengar Aneh di Telinga Surabaya

21 Juni 2025   16:33 Diperbarui: 22 Juni 2025   10:44 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kata. (Shutterstock via KOMPAS.COM)

Sebuah kata bisa menjadi penanda identitas. Sekaligus pemicu kebingungan saat melintasi batas budaya. Bagi seorang perantau dari Jawa Timur, umpatan yang akrab di telinga bisa terasa asing. Dan kosong saat terdengar di tengah percakapan Jakarta.

Baskara berhenti menyesap kopinya. Aroma robusta yang pekat dari cangkirnya tiba-tiba terasa hambar. Suara dari meja seberang di warkop ramai itu menusuk telinganya.

Bukan karena keras. Tapi karena terdengar salah baginya. Seseorang baru saja mengucapkan kata 'jancuk' dengan lafal yang datar dan kosong.

Dia melihat sekelompok anak muda tertawa santai. Laki-laki yang tadi bicara mengucapkannya lagi. Bunyinya tetap sama. Vokal ‘u’ yang tipis seperti pada kata ‘lucu’. Dan akhiran ‘k’ yang lepas tanpa tekanan.

Baskara tidak marah. Otot bahunya menegang. Ada yang janggal. Rasa kosong di telinganya. Seolah katanya kehilangan bobot.

Fenomena ini bukan yang pertama. Dia mendengarnya di kantor. Di gerbong KRL yang padat. Bahkan dalam takarir video seorang kreator orang Jakarta. Pola ini konsisten.

Dia menatap lalu lintas Jakarta dari jendela warkop yang berembun.

"Ini bukan soal logat," pikirnya. "Ada sesuatu yang hilang. Seolah kata itu tak bertenaga. Ada apa dengan 'jancuk' di Jakarta?"

Fonetik dan Adaptasi Budaya

Pertanyaan Baskara sejatinya menyentuh inti pertemuan dua dialek yang berbeda. Kata 'jancok' (variasi: 'jancuk', 'dancok', 'cok'). Secara historis merupakan leksikon inti identitas linguistik masyarakat Jawa Timur. Khususnya Surabaya.

Awalnya bermakna vulgar ('bersetubuh' atau 'sialan') berdasar kamus Bausastra Jawa 1939 (Wikipedia Indonesia, 2013). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun