Sebuah kata bisa menjadi penanda identitas. Sekaligus pemicu kebingungan saat melintasi batas budaya. Bagi seorang perantau dari Jawa Timur, umpatan yang akrab di telinga bisa terasa asing. Dan kosong saat terdengar di tengah percakapan Jakarta.
Baskara berhenti menyesap kopinya. Aroma robusta yang pekat dari cangkirnya tiba-tiba terasa hambar. Suara dari meja seberang di warkop ramai itu menusuk telinganya.
Bukan karena keras. Tapi karena terdengar salah baginya. Seseorang baru saja mengucapkan kata 'jancuk' dengan lafal yang datar dan kosong.
Dia melihat sekelompok anak muda tertawa santai. Laki-laki yang tadi bicara mengucapkannya lagi. Bunyinya tetap sama. Vokal ‘u’ yang tipis seperti pada kata ‘lucu’. Dan akhiran ‘k’ yang lepas tanpa tekanan.
Baskara tidak marah. Otot bahunya menegang. Ada yang janggal. Rasa kosong di telinganya. Seolah katanya kehilangan bobot.
Fenomena ini bukan yang pertama. Dia mendengarnya di kantor. Di gerbong KRL yang padat. Bahkan dalam takarir video seorang kreator orang Jakarta. Pola ini konsisten.
Dia menatap lalu lintas Jakarta dari jendela warkop yang berembun.
"Ini bukan soal logat," pikirnya. "Ada sesuatu yang hilang. Seolah kata itu tak bertenaga. Ada apa dengan 'jancuk'Â di Jakarta?"
Fonetik dan Adaptasi Budaya
Pertanyaan Baskara sejatinya menyentuh inti pertemuan dua dialek yang berbeda. Kata 'jancok' (variasi: 'jancuk', 'dancok', 'cok'). Secara historis merupakan leksikon inti identitas linguistik masyarakat Jawa Timur. Khususnya Surabaya.
Awalnya bermakna vulgar ('bersetubuh' atau 'sialan') berdasar kamus Bausastra Jawa 1939 (Wikipedia Indonesia, 2013).Â