Sengketa wilayah 4 pulau Aceh-Sumatera Utara terlihat sederhana di permukaan. Namun, ada lapisan-lapisan rumit yang memaksa kita melihat lebih dalam.
Awalnya, saya kira sengketa empat pulau ini hanya soal batas wilayah biasa. Ribut-ribut soal garis di peta. Yang akan reda dengan sendirinya. Namun makin saya dalami, saya keliru.
Saya melihat para pejabat dan ahli beradu argumen. Kemudian saya membaca bagaimana warung-warung kopi di Aceh lebih rame ngomongin soal ini ketimbang pertandingan Timnas.
Ternyata ada sesuatu yang lebih dalam. Sebuah luka tak terlihat di layar ponsel. Pertanyaan ini pun muncul di benak saya. Mengapa kemarahan ini begitu personal?
---
Pencarian saya membawa saya pada sebuah arsip digital. Kesepakatan gubernur tahun 1992. Yang disaksikan langsung oleh Mendagri. Sebuah komitmen hitam di atas putih yang jelas bertentangan dengan keputusan hari ini (Kompas.com, 2025).
Teka-teki hukum itu bertemu dengan jawaban emosional. Saat saya baca tulisan para akademisi. Saya menemukan kata kunci sebenarnya.Â
Marwah. Harga diri. Saya mulai mengerti. Ini bukan soal empat pulau. Tapi soal pengabaian berulang terhadap kekhususan dan perasaan orang Aceh.
Saya pikir saya sudah menemukan jawabannya. Di sejarah dan martabat yang terluka. Namun, saat saya gali lebih dalam. Tentang apa yang tersembunyi di bawah perairan empat pulau itu.Â
Saya menemukan sebuah lapisan lain yang mengubah segalanya. Jangan-jangan, ini semua bukan tentang masa lalu. Tapi tentang siapa yang berhak menguasai masa depan?