Di balik tiap proses rekrutmen alot, sering tersimpan drama. Pertarungan perspektif antara tim HR dan manajer pengguna (user). Sebuah pertanyaan mendasar yang selalu menggantung adalah. Siapa yang sebenarnya lebih tahu kebutuhan tim?
Dahi Kevin mengencang. Nama itu mengingatkan sesuatu. Jelas, memori yang tidak bikin happy. Ia menatap Nindy. Orang HR di depannya. Yang baru saja menolak kandidat pilihannya.
"Tim ini saya yang butuh, jadi saya yang paling tahu," ujar Kevin dengan nada tegas. Memecah keheningan ruang rapat.
Nindy terdiam sejenak. Ia kemudian menatap Kevin dengan tenang dan bertanya,
"Pak Kevin, apa Bapak masih ingat dengan Arya?"
---
Pertanyaan Nindy bukan sekadar gertakan. Di baliknya, ada kalkulasi kerugian yang sering luput. Konflik antara Manajer (user) dan HR dalam rekrutmen adalah tarik-ulur. Antara kebutuhan teknis spesifik. Dan standar perilaku korporat.
Riset modern menunjukkan. Bahwa biaya dari satu kali salah rekrut (bad hire). Dapat mencapai 30% dari gaji tahunan karyawan tersebut. Belum termasuk kerugian produktivitas dan penurunan moral tim.
Untuk mengatasi ini. Praktik rekrutmen kolaboratif jadi krusial. Pendekatan ini mengandalkan alat terstruktur. Seperti Hiring Scorecard (Kartu Skor Perekrutan). Untuk menyelaraskan ekspektasi.
Pertama, definisikan kompetensinya bersama. Baik kompetensi teknis maupun perilaku. Lalu, beri bobot pada tiap poinnya. Lakukan semua ini sebelum proses dimulai. Dengan begitu, pengambilan keputusan menjadi lebih objektif.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!