Pemerintah bilang mereka paling tahu soal kemiskinan di negeri ini. Namun setelah mendengar argumennya, saya ragu. Jangan-jangan, justru pemerintah yang tidak tahu realita sama sekali?
Saya menghentikan video wawancara di layar laptop saya. Argumen pembelaan yang disampaikan Hasan Nasbi, Kepala PCO, terdengar begitu kokoh.Â
Namun esensi di baliknya terasa kosong. Tidak menyentuh realitas. Ruangan terasa sunyi. Suara dari speaker laptop yang tadinya mengisi udara. Diganti oleh dengung kipas angin yang samar. Jemari saya diam di atas touchpad yang dingin.
Pikiran saya memutar ulang dua dalil utamanya. Satu, Badan Pusat Statistik kita adalah lembaga kelas dunia. Dua, Orang (pemerintah) Indonesia sendirilah yang paling tahu cara mengukur kemiskinannya.Â
Kalimat-kalimat itu terdengar logis. Patriotik. Namun, nurani saya merasa lain. Ada sebuah kebenaran pahit yang sengaja tidak diucapkan. Dia berbicara dengan percaya diri. Saya dengar dengan teliti. Intuisi saya menolak narasinya.
Argumen ini terdengar tanpa celah. Metodologinya dibela dengan klaim kehebatan. Namun, mengapa alasan menghasilkan standar hidup yang hampir mustahil? Ada sebuah logika yang sengaja dipatahkan di sini. Dan saya harus menemukannya.
---
Pencarian itu menegaskan apa yang saya rasakan. Saya membuka tab baru. Saya mencari fakta, bukan opini. Di sinilah bangunan argumen ini runtuh.Â
Di satu sisi, angka resmi kita 8,57 persen miskin. Di sisi lain, angka standar internasional 60,3 persen miskin. Perbedaannya bukan sekadar angka. Tapi nasib ratusan juta manusia.Â
Argumen BPS hebat jadi kurang relevan. Masalahnya bukan pada kecanggihan perhitungannya. Masalahnya ada pada apa yang dihitung. Metodologi itu tidak mengukur biaya hidup layak. Ia hanya mengukur biaya bertahan hidup minimal.