Pemerintah telah menggelontorkan triliunan rupiah untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Namun bagi sebagian besar masyarakat kelas menengah, pertanyaan yang muncul bukan tentang angka di berita. Melainkan tentang realita yang tersaji di meja makan setiap hari.
Rizal menatap struk belanjaan di atas meja makan. Lima kantong kresek itu kini bernilai hampir seperempat gaji bulanannya. Namun isinya terasa menyusut.Â
Dari teras rumah. Suara meteran listrik prabayar berbunyi nyaring, `beep... beep...`. Menagih untuk diisi. Kontras dengan suara optimis seorang pejabat di televisi. Yang mengumumkan renana penyaluran Bantuan Langsung Tunai tahap terbaru.
Ia meraih ponsel. Membuka aplikasi mobile banking. Angka yang tersisa setelah bayar cicilan rumah dan tagihan lain membuatnya menghela napas panjang.
"Uang pangkal Daffa gimana, Mas?" suara istrinya terdengar dari dapur.
Rizal hanya menggeleng pelan. "Nanti kita pikirkan lagi."
Ia meraih remot dan menekan tombol merah. Membungkam suara berita di televisi. Ruangan jadi hening. Menyisakan pertanyaan yang bergaung di kepalanya.
"Triliunan rupiah bantuan digelontorin. Tapi tak satu rupiah pun mampir ke dapurku. Sebenarnya, untuk siapa bantuan itu semua?"
Pertanyaan Rizal yang bergema dalam hening. Bukanlah keluhan tanpa dasar. Ia menyentuh jantung dari strategi stimulus ekonomi nasional.Â
---Â