Perusakan makam Kristen di Yogyakarta mengoyak multikulturalisme. Mengapa intoleransi terus muncul? Dan bagaimana solusinya?Â
Berita dari Kompas.id itu kembali mengoyak ketenangan. Kali ini menimpa makam saudara-saudara kita dengan identitas Kristen di Yogyakarta dan Bantul. Tepatnya di TPU Baluwarti dan Ngentak, yang terjadi 16 Mei lalu.Â
Bukan sekadar angka atau lokasi. Tapi pengingat getirnya kerapuhan kita. Bukan cuma miris, tapi juga lelah. Lelah karena ini bukan yang pertama.Â
Kita ingat insiden di makam Bethesda Mrican tahun 2019. Pemotongan salib di Kotagede tahun 2018. Hingga perusakan nisan di Surakarta tahun 2021.
Bagaimana kita bisa bicara lantang tentang kebanggaan akan keberagaman, jika kenyataan di lapangan masih saja ternodai?
Dari pemahaman saya yang sederhana, ini bukan lagi soal siapa pelaku. Entah itu ANF yang berusia 16 tahun dengan alasan keluarga. Atau sekelompok anak-anak di Surakarta. Atau bahkan klaim "orang gila" seperti pada kasus Bethesda. Bukan itu intinya.Â
Ada beberapa aspek penting yang mungkin terlewat jika kita tidak berhati-hati. Ini soal bagaimana kita sebagai bangsa gagal mencegah terulangnya luka.Â
Apakah kita hanya berhenti pada slogan "Bhinneka Tunggal Ika" tanpa benar-benar meresapinya dalam sanubari dan tindakan?
Mengatasi Intoleransi yang MengancamÂ
Memang di lingkungan kerja saya yang heterogen, kita bisa menjaga etika, saling menghargai. Tapi begitu keluar dari lingkup itu, realitasnya bisa begitu kontras?Â
Perusakan makam ini bagi saya, adalah indikator paling nyata. Bukan cuma vandalisme biasa, tapi serangan terhadap simbol. Terhadap rasa aman kelompok minoritas. Dan pada akhirnya, terhadap kerukunan kita.Â