Di balik niat mulia Komite Sekolah, terkuak dugaan pungli sistemik. Saatnya menyingkap patologi birokrasi ini.
Di tengah persiapan tahun ajaran baru, Komite Sekolah kembali jadi sorotan. Lembaga yang dibentuk sejak 2016 ini, idealnya adalah jembatan penghubung antara sekolah dan masyarakat, bertujuan mulia untuk meningkatkan mutu pendidikan.Â
Namun mengapa Komite Sekolah, yang harusnya jadi mitra strategis, justru terjebak dalam perangkap birokrasi dan jadi alat legitimasi praktik pungutan liar, merusak kepercayaan publik terhadap tata kelola pendidikan?Â
Pertanyaan ini mengundang kita untuk merenungkan kembali esensi dan perjalanan Komite Sekolah di Indonesia.
Patologi Birokrasi ala Weber
Untuk memahami mengapa Komite Sekolah seolah tersesat dari tujuan awalnya, kita bisa menilik pada gagasan Max Weber tentang Teori Birokrasi.Â
Weber membayangkan birokrasi sebagai struktur organisasi yang sangat efisien, rasional, dan akuntabel, di mana segala sesuatu berjalan berdasarkan aturan formal, hierarki yang jelas, dan impersonalitas.Â
Tujuannya adalah pelayanan publik yang optimal. Namun dalam praktiknya, idealisme Weber ini seringkali berhadapan dengan apa yang disebut patologi birokrasi atau disfungsi.
Komite Sekolah, yang diatur dalam Permendikbud untuk meningkatkan mutu pendidikan, seharusnya menjadi motor penggerak partisipasi.Â
Namun, seperti yang dijelaskan oleh Amruddin dalam "Patologi Birokrasi Pendidikan" (2022), birokrasi pendidikan dapat mengalami hambatan serius.Â
Ini mencakup peraturan yang tidak efektif dan manajemen yang buruk, yang pada gilirannya menyebabkan kurangnya pengawasan dan akuntabilitas.Â