Ketika sejarah mulai disunting dan suara rakyat dibungkam, masihkah kita ingat makna Reformasi?
Terkadang, bahaya yang paling besar bukan datang dari kekerasan fisik atau kudeta bersenjata, melainkan dari pelan-pelan hilangnya ingatan bersama.Â
Hari ini, Indonesia menghadapi situasi genting yang tak selalu disadari.Â
Demokrasi kita tidak sedang diruntuhkan secara frontal, melainkan didegradasi secara halus melalui inovasi otokratik. Cara-cara baru yang secara formal tampak demokratis, tetapi secara substansi memperkuat kekuasaan tanpa kontrol.Â
Di tengah ancaman ini, ingatan kolektif terhadap Reformasi 1998 menjadi fondasi pertahanan paling penting yang kita miliki.
Artikel "Reformasi, Ingatan, dan Kolektivitas" (Kompas.id, 2025) mengungkap bagaimana kekuatan eksekutif terus menguat tanpa diimbangi oleh akuntabilitas, sementara narasi sejarah tentang Reformasi justru mengalami distorsi.Â
Contoh paling nyata adalah munculnya kembali wacana pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Sebuah langkah yang sudah dua kali ditolak publik pada 2010 dan 2015, namun kini dihidupkan kembali seolah tak ada beban sejarah (Kompas, 2025).
Pertanyaannya, mengapa narasi Reformasi begitu penting untuk dipertahankan? Karena seperti dijelaskan Maurice Halbwachs (1925), ingatan kolektif bukan sekadar kumpulan kenangan individu, melainkan konstruksi sosial yang dibentuk bersama dalam suatu kerangka sosial.Â
Jika kerangka itu dirusak, melalui glorifikasi otoritarianisme, penyuntingan sejarah, dan pengabaian terhadap korban masa lalu. Maka masyarakat kehilangan acuan moral untuk menilai masa kini dan membayangkan masa depan.
Otokratisasi dan Kerusakan Kepercayaan
Kondisi politik hari ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman otokratisasi.Â