Harga domba kurban yang melambung tinggi, apakah ini cerminan ketimpangan sosial di tengah momen berbagi?
Iduladha adalah salah satu momen paling penting dalam agama Islam, yang tidak hanya menyimbolkan pengorbanan pribadi, tetapi juga semangat berbagi dengan sesama.Â
Dalam konteks Indonesia, momen ini sering dipenuhi dengan ketimpangan ekonomi yang mencolok.Â
Salah satu fenomena yang menarik perhatian adalah disparitas harga domba kurban, yang bisa berkisar dari Rp 650.000 hingga puluhan juta rupiah (Tirto, 2025).Â
Harga yang sangat bervariasi ini memunculkan pertanyaan. Apakah angka tersebut mencerminkan ketimpangan ekonomi umat Islam dalam momen yang harusnya bersifat egaliter ini?Â
Domba Mahal Sebagai Konsumsi Mencolok Menurut Teori Veblen
Untuk memahami disparitas harga domba kurban yang begitu besar, kita dapat menggunakan Teori Konsumsi Mencolok (conspicuous consumption) yang diperkenalkan oleh sosiolog dan ekonom Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of the Leisure Class (1899).Â
Veblen mengemukakan bahwa di dalam masyarakat yang terstratifikasi, individu-individu kelas atas atau mereka yang berusaha menampilkan status sosialnya sering kali melakukan konsumsi barang dan jasa yang bukan sekadar memenuhi kebutuhan praktis, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk menunjukkan kekayaan dan status.Â
Dalam konteks kurban, fenomena ini sangat jelas terlihat pada pilihan untuk membeli domba kurban dengan harga yang sangat tinggi, seperti Domba Dorper Fullblood yang dihargai hingga Rp 31,2 juta (Tirto, 2025).
Harga yang sangat mahal ini, jelas melebihi kebutuhan fungsional dari ibadah kurban, yang sebenarnya bisa dipenuhi dengan hewan yang lebih terjangkau.Â
Dalam hal ini, pembelian hewan kurban dengan harga yang sangat tinggi dapat dilihat sebagai bentuk konsumsi mencolok, di mana esensi dari ibadah ini, yakni berbagi dan mendekatkan diri kepada Allah, terdistraksi oleh niat untuk memamerkan status sosial dan kemampuan ekonomi.Â