Indonesia menghadapi risiko utang yang meningkat akibat penurunan penerimaan pajak dan defisit anggaran.
Bayangkan jika kita menjalankan rumah tangga. Pendapatan kita terus menurun setiap bulan. Tentu kita harus membuat keputusan-keputusan sulit, bukan?Â
Begitulah kira-kira yang sedang dihadapi oleh Indonesia pada tahun 2025. Penerimaan pajak negara mengalami penurunan tajam. Hal ini memperburuk defisit anggaran. Pemerintah pun terpaksa bergantung pada utang.
Hingga akhir Februari 2025, penerimaan pajak Indonesia tercatat turun sebesar 30,1 persen dibandingkan tahun lalu. Penerimaan hanya mencapai Rp 187,8 triliun (MUC, 2025).Â
Penurunan ini dipengaruhi oleh dua hal utama. Pertama, harga komoditas yang menjadi andalan ekspor negara menurun. Kedua, perlambatan ekonomi berdampak pada daya beli masyarakat.Â
Selain itu, kendala teknis dalam implementasi sistem administrasi pajak baru, Coretax, turut memperburuk keadaan (Tempo, 2025).Â
Akibatnya, rasio pajak terhadap PDB stagnan di angka 7 persen. Rasio ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara berkembang lainnya (Kompas, 2025).
Defisit Anggaran yang Semakin Melebar dan Peningkatan Utang
Jika pendapatan negara menurun, defisit anggaran akan semakin besar. Hal ini menjadi masalah serius. Indonesia merencanakan defisit APBN 2025 sebesar Rp 616,2 triliun. Itu setara dengan 2,53 persen dari PDB (Kompas, 2025).Â
Dalam situasi ini, pemerintah tidak memiliki banyak pilihan. Mereka harus memperbesar utang untuk menutupi kekurangan tersebut.
Namun, mengandalkan utang untuk menutupi defisit bukan solusi jangka panjang. Setiap utang yang ditambah akan membebani anggaran negara. Kewajiban membayar bunga dan cicilan utang terus meningkat.Â