Dedi Mulyadi meraih popularitas lewat media sosial, namun apakah pencitraannya dapat memberikan perubahan nyata?
Dedi Mulyadi mendapat julukan "Gubernur Konten". Ia makin populer berkat kebijakan kontroversialnya. Kebijakan tersebut juga aktif dibagikan di media sosial.Â
Apakah Dedi benar-benar pemimpin yang membawa perubahan nyata? Ataukah ia hanya figur publik yang memanfaatkan media sosial?
Media Sosial sebagai Alat Pencitraan Politik
Media sosial menjadi alat yang mumpuni untuk membangun pencitraan. Dedi Mulyadi misalnya, lincah memanfaatkan YouTube dan Instagram untuk berkomunikasi dengan masyarakat.Â
Pada April 2025, setelah mengusulkan vasektomi sebagai syarat bantuan sosial, Dedi mendapat perhatian besar. Popularitasnya melonjak, terbukti dari data Google Trend. Pencarian namanya mencapai skor tertinggi pada 29 April 2025.
Tapi apa popularitas ini cukup untuk membawa perubahan nyata? Teori Pencitraan oleh Edelman menyebutkan bahwa media sosial efektif untuk menarik perhatian, tetapi hanya sementara.Â
Pencitraan hanya bertahan jika didukung oleh kebijakan dan tindakan nyata yang memberikan dampak langsung. Tanpa itu, citra bisa luntur dan digantikan oleh tokoh lain.
Risiko Pencitraan Tanpa Solusi Sistemik
Dedi Mulyadi, meski mendapat julukan "gubernur konten", harus sadar bahwa popularitas di media sosial ada batasnya. Keputusan kontroversial seperti menghapus biaya pendidikan dan kebijakan vasektomi tentu menimbulkan pro dan kontra.Â
Namun kebijakan ini hanya akan bertahan jika dampaknya terasa langsung oleh masyarakat.
Kritik yang muncul adalah Dedi lebih fokus pada pencitraan daripada solusi sistemik.Â