Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dedi Mulyadi dan Fenomena Pencitraan Politik di Media Sosial

9 Mei 2025   19:00 Diperbarui: 9 Mei 2025   15:21 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membangun pencitraan melalui media sosial. (Dibuat oleh ChatGPT)

Dedi Mulyadi meraih popularitas lewat media sosial, namun apakah pencitraannya dapat memberikan perubahan nyata?

Dedi Mulyadi mendapat julukan "Gubernur Konten". Ia makin populer berkat kebijakan kontroversialnya. Kebijakan tersebut juga aktif dibagikan di media sosial. 

Apakah Dedi benar-benar pemimpin yang membawa perubahan nyata? Ataukah ia hanya figur publik yang memanfaatkan media sosial?

Media Sosial sebagai Alat Pencitraan Politik

Media sosial menjadi alat yang mumpuni untuk membangun pencitraan. Dedi Mulyadi misalnya, lincah memanfaatkan YouTube dan Instagram untuk berkomunikasi dengan masyarakat. 

Pada April 2025, setelah mengusulkan vasektomi sebagai syarat bantuan sosial, Dedi mendapat perhatian besar. Popularitasnya melonjak, terbukti dari data Google Trend. Pencarian namanya mencapai skor tertinggi pada 29 April 2025.

Tapi apa popularitas ini cukup untuk membawa perubahan nyata? Teori Pencitraan oleh Edelman menyebutkan bahwa media sosial efektif untuk menarik perhatian, tetapi hanya sementara. 

Pencitraan hanya bertahan jika didukung oleh kebijakan dan tindakan nyata yang memberikan dampak langsung. Tanpa itu, citra bisa luntur dan digantikan oleh tokoh lain.

Risiko Pencitraan Tanpa Solusi Sistemik

Dedi Mulyadi, meski mendapat julukan "gubernur konten", harus sadar bahwa popularitas di media sosial ada batasnya. Keputusan kontroversial seperti menghapus biaya pendidikan dan kebijakan vasektomi tentu menimbulkan pro dan kontra. 

Namun kebijakan ini hanya akan bertahan jika dampaknya terasa langsung oleh masyarakat.

Kritik yang muncul adalah Dedi lebih fokus pada pencitraan daripada solusi sistemik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun