PPN e-commerce 2025 menghadirkan tantangan besar bagi UMKM, dengan kebingungan administrasi dan ketidakadilan regulasi.
E-commerce di Indonesia sudah jadi bagian penting dalam kehidupan kita. Kita bisa belanja online. Beli barang dari luar negeri. Bahkan mencari pekerjaan dengan mudah hanya lewat ponsel. Apalagi di tengah kehidupan yang serba cepat.Â
Namun, kebijakan pajak digital yang diterapkan awal 2025 membawa masalah besar. Kebijakan ini tidak hanya menyulitkan pelaku usaha, tetapi juga membebani masyarakat.
Janji Manis PPN dan Kompleksitas Implementasi
Pemerintah menerapkan PPN 12% pada transaksi e-commerce dengan harapan dapat menambah pemasukan negara. Kebijakan ini harusnya juga mengatur sektor yang sulit dijangkau pajak. Nyatanya kebijakan ini menimbulkan banyak masalah.
Menurut Kanwil DJP Papabrama (2025), meski PPN 12% diberlakukan, penghitungan yang rumit malah menyulitkan pelaku UMKM. Terutama bagi mereka yang baru beradaptasi dengan e-commerce.Â
Salah satu contohnya adalah penerapan DPP (Dasar Pengenaan Pajak) yang kompleks. Banyak pelaku UMKM mengeluhkan rumitnya administrasi dan prosedur yang harus diikuti.
Kenyataan bahwa kebijakan ini tidak seperti yang dibayangkan banyak orang. Seharusnya efisien justru menambah beban pelaku usaha, yang tidak sepenuhnya memahami sistem perpajakan ini.
UMKM Digital Terjebak Kebingungan Split Tax
Salah satu masalah besar dalam kebijakan ini adalah sistem split tax. Platform e-commerce harus memungut pajak dari transaksi. Sistem ini harusnya mempermudah, tapi justru membingungkan.
Menurut Uta45jakarta.ac.id (2025), sekitar 67% pedagang online kesulitan memahami cara kerja sistem ini. Mereka tidak tahu bagaimana memisahkan pajak untuk barang yang kena PPN dan yang tidak. Mereka juga bingung cara melaporkan transaksi mereka.
Banyak pelaku usaha online mengaku kewalahan dengan peraturan baru ini. Mereka yang biasanya fokus pada produk dan pelayanan, tiba-tiba harus menghadapi peraturan pajak yang rumit.Â