Menopause bukanlah akhir, melainkan awal babak baru yang penuh makna, meski masih dibayangi stigma sosial.
Menopause sering kali dianggap sebagai akhir dari produktivitas perempuan, dengan banyak orang yang mengaitkannya dengan penuaan dan ketidaksuburan.Â
Hal ini sering disembunyikan dan tidak dibicarakan. Padahal, dengan merubah pandangan, menopause sebenarnya bisa menjadi awal dari babak baru yang penuh makna dan kebebasan.
Beban Psikologis dan Sosial Perempuan Indonesia
Masyarakat sering memandang perempuan yang masuk menopause dengan stigma. Banyak yang merasa bahwa menopause adalah hal yang "memalukan".Â
Di Indonesia, banyak perempuan yang menghindari pembicaraan tentang menopause. Mereka bahkan malu mencari informasi atau dukungan tentang perubahan fisik yang terjadi. Ini bukan hanya masalah biologis, tapi juga masalah sosial.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI (2022), pada 2025, sekitar 60 juta perempuan Indonesia akan mengalami menopause. Namun, banyak yang merasa menopause menandakan akhir dari segalanya.Â
Berkurangnya kesuburan, hilangnya daya tarik fisik, dan isolasi sosial. Persepsi ini diperkuat oleh budaya patriarki yang menilai perempuan dari penampilan fisik dan kesuburan.
Penelitian Sulistyowati & Susilawati (2021) menunjukkan bahwa 73% perempuan menopause mengalami penurunan kualitas hidup sosial.Â
Mereka merasa terisolasi, peran keluarga berubah, dan dukungan sosial kurang. Banyak yang merasa bahwa menopause berarti mereka tidak lagi "berguna" atau "produktif", yang jelas mengganggu kualitas hidup mereka.
Budaya Patriarki dan Minimnya Narasi Positif
Stigma menopause berkaitan erat dengan budaya yang kita anut. Di banyak masyarakat, perempuan dinilai dari penampilan dan kesuburannya.Â