Mencermati pergeseran ekonomi gig, peran Resource-Based View, dan tantangan fleksibilitas di dunia kerja 2025.
Dunia kerja berubah pesat, terutama karena kemajuan teknologi dan platform digital. Salah satu perubahan besar adalah ekonomi gig. Di mana orang bisa bekerja secara fleksibel tanpa ikatan jangka panjang dengan perusahaan.Â
Model kerja ini akan makin dominan di 2025. Dengan banyak orang beralih ke pekerjaan lepas. Seperti pengemudi ojek online, desainer grafis, atau freelancer di platform seperti Upwork dan Sribulancer.
Namun muncul pertanyaan. Apa teori Resource-Based View (RBV), yang dulu penting dalam mengelola sumber daya manusia, masih relevan? Sebab, ekonomi gig berfokus pada fleksibilitas.Â
Ada paradoks yang harus dipahami. Stabilitas dalam sumber daya manusia versus kebutuhan akan fleksibilitas dalam ekonomi gig.
Benturan Teori RBV dengan Realitas Gig Economy
Teori Resource-Based View (RBV) menganggap bahwa sumber daya manusia yang terlatih, stabil, dan loyal adalah aset penting. Karyawan dengan keterampilan khusus yang bertahan lama dianggap sebagai keunggulan kompetitif yang sulit ditiru pesaing.Â
Itulah alasan perusahaan besar seperti Microsoft, Apple, dan Google berinvestasi untuk mempertahankan karyawan mereka.
Namun dalam ekonomi gig, kondisinya beda. Platform seperti Gojek, Tokopedia, dan Sribulancer mengandalkan pekerja lepas yang bekerja berdasar permintaan. Tanpa kontrak jangka panjang.Â
Gojek misalnya, tidak mempekerjakan pengemudi tetap. Mereka hanya memanggil pengemudi sesuai kebutuhan. Pengemudi bebas memilih jam kerja, tanpa jaminan pekerjaan tetap.
Ini jelas bertentangan dengan prinsip RBV, yang ingin sumber daya manusia yang stabil dan terlatih. Pertanyaannya, apa perusahaan masih bisa mengandalkan RBV jika pekerja mereka tak lagi memiliki hubungan jangka panjang?Â