Membedah tantangan komunikasi dan kepercayaan dalam manajemen tim virtual di dunia metaverse Indonesia.Â
Pernah ikut rapat online tapi terasa seperti ngomong sendiri? Semua diam. Suara putus-putus. Wajah peserta pun nggak kelihatan jelas. Ekspresi nggak bisa dibaca.Â
Sekarang bayangkan hal itu terjadi di ruang virtual 3 dimensi. Di sini, kita diwakili avatar. Harusnya mewakili manusia. Tapi ekspresinya malah kaku. Bikin bingung. Â
Inilah realitas baru dunia kerja, metaverse. Kedengarannya canggih. Tapi di balik teknologi itu, ada satu pertanyaan besar. Apakah kita benar-benar siap masuk ke dunia ini?Â
Khususnya di Indonesia. Dimana teknologi berkembang cepat, tapi manusianya masih menyesuaikan.
Komunikasi dan Kepercayaan di Era Metaverse
Di dunia nyata, kepercayaan dibentuk lewat hal kecil. Tatapan mata, gerakan tangan, intonasi suara. Tapi di metaverse, semua itu hilang. Yang terlihat cuma avatar. Ekspresinya kaku. Emosinya sering tak tersampaikan dengan benar. Â
Andreano dkk., dalam Jurnal Performance (2025), menjelaskan hal ini dengan gamblang. Mereka bilang, tim virtual hanya efektif jika pemimpin bisa bangun kepercayaan lewat komunikasi yang adaptif. Apalagi kalau anggotanya berasal dari budaya yang berbeda.
Bayangkan kamu kerja bareng orang dari Yogyakarta, Makassar, dan Medan. Ketemunya bukan di kantor, tapi di ruang virtual. Pakai avatar. Bahasa tubuh nggak terlihat. Nada suara kadang delay. Banyak yang akhirnya diam, takut salah paham. Â
Padahal, teori komunikasi organisasi bilang, kerja tim butuh shared meaning. Artinya, setiap orang harus paham makna yang sama dari setiap pesan.Â
Itu cuma bisa dicapai lewat komunikasi yang jelas dan saling percaya. Kalau komunikasi tersendat, kepercayaan gampang hilang. Dan saat kepercayaan runtuh, kerja sama tinggal formalitas. Â