Tupperware tutup setelah 33 tahun, mengajarkan pelajaran berharga tentang pentingnya inovasi dan manajemen strategis.
Kamu pernah dengar tentang Tupperware? Itu lho, kotak plastik yang sering ada di rumah orang tua atau nenek. Biasanya dipakai buat simpan makanan atau minuman. Banyak orang suka Tupperware karena praktis dan berguna.
Tapi ada kabar mengejutkan. Setelah 33 tahun, Tupperware Indonesia memutuskan untuk tutup. Bukan cuma di Indonesia, tetapi di beberapa negara lain juga. Keputusan ini bikin banyak orang kaget dan bertanya-tanya, kenapa Tupperware bisa tutup?
Kita bisa saja ngomongin kenangan indah tentang Tupperware. Tapi, ada hal yang lebih penting untuk dibahas. Kenapa perusahaan besar ini bisa kalah dalam persaingan yang semakin ketat? Apa yang bisa kita pelajari dari kegagalan mereka?
Anatomi Kegagalan Strategis Tupperware
Kalah Cepat Hadapi Disrupsi & Digitalisasi
Tupperware turun karena tidak bisa mengikuti perubahan pasar yang cepat. Dunia terus berubah. Teknologi membuat cara kita berbelanja jadi lebih mudah.Â
Dulu, Tupperware punya cara jualan unik, yaitu "Tupperware Party." Orang-orang berkumpul untuk beli produk. Cara ini sukses pada masanya. Tapi sekarang, cara itu sudah tidak relevan, terutama untuk generasi muda yang lebih suka belanja online.
Tupperware terlambat mengikuti perkembangan digital. Sekarang, orang lebih memilih berbelanja lewat internet. Mereka tidak perlu datang ke pesta untuk membeli produk.Â
Menurut Krajan.id, Tupperware tidak cepat menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Meskipun banyak penggemarnya, Tupperware kesulitan bersaing dengan pesaing yang sudah siap menggunakan teknologi dan penjualan online.
Berdasar analisis Krajan.id, Tupperware juga terlambat menyadari pentingnya produk ramah lingkungan. Generasi sekarang peduli dengan lingkungan dan memilih produk yang lebih eco-friendly.Â
Sementara pesaing mereka sudah cepat bergerak, menawarkan produk yang lebih murah dan lebih mudah dibeli secara online.
Model Usang Lawan Kompetisi Ketat
Tupperware menghadapi masalah besar karena model bisnis mereka sudah tidak cocok lagi dengan zaman.Â
Dulu, Tupperware sukses dengan harga premium. Tapi sekarang, harga tinggi ini tidak lagi menarik, karena ada banyak produk mirip dengan harga lebih murah.
Menurut Bisnis.com, Tupperware tetap pakai cara lama. Sementara pesaing baru dengan harga lebih murah dan mudah diakses mulai menguasai pasar. Tupperware yang dulu dianggap mewah, sekarang tidak menarik lagi.Â
Banyak pilihan lain yang lebih praktis dan efisien, sehingga konsumen merasa harga Tupperware tidak sebanding.
Selain itu, kompetisi bukan hanya datang dari merek besar yang sudah digital. Tapi juga produk yang lebih murah. Ini membuat Tupperware semakin sulit bersaing karena mereka tetap pakai cara lama tanpa perubahan besar.
Pelajaran Penting untuk Bisnis Lain
Apa yang bisa kita pelajari dari penutupan Tupperware setelah 33 tahun? Banyak hal.
Pertama, Tupperware mengajarkan kita bahwa perubahan itu penting. Perusahaan harus bisa berubah mengikuti perkembangan zaman. Kalau tidak, mereka akan tertinggal.
Tupperware gagal berinovasi, dan ini menyebabkan mereka kalah.Â
Krajan.id menyebut bahwa Tupperware tidak bisa mengikuti perubahan pasar. Mereka tidak memakai teknologi untuk jualan dan distribusi, sementara pesaing sudah melakukannya. Jadi, untuk bisnis lain, digitalisasi bukan pilihan lagi. Itu harus dilakukan.
Selain itu, perusahaan harus selalu berinovasi. Konsumen sekarang lebih pintar. Mereka suka produk yang efisien dan harga terjangkau. Tupperware gagal beradaptasi dengan ini, sehingga mereka kalah. Bisnis yang ingin bertahan harus terus berubah dan berinovasi.
Kesimpulan
Tupperware tutup di Indonesia, dan itu bikin banyak orang bernostalgia. Lebih dari itu, ini pelajaran penting untuk bisnis. Penutupan Tupperware menunjukkan bahwa semua perusahaan, besar atau kecil, harus bisa beradaptasi dengan zaman.