Bali melarang botol plastik kecil untuk atasi sampah, namun kebijakan ini menuai pro dan kontra.
Bayangkan tempat yang indah, tapi punya masalah besar yang nggak kelihatan. Itulah Bali, yang lagi berjuang melawan sampah plastik. Masalah ini sudah jadi mimpi buruk buat penduduk, pengusaha, dan wisatawan yang datang ke sana.
Gubernur Bali, Wayan Koster, baru saja keluarin kebijakan yang cukup heboh. Dia melarang botol plastik sekali pakai yang volumenya kurang dari 1 liter. Ini buat mengurangi sampah plastik, masalah besar di Bali. Tapi, nggak semua orang setuju.
Bali tiap tahun menghasilkan sekitar 300.000 ton sampah plastik. 33.000 ton dari itu masuk ke saluran air dan bikin pantai-pantai di Bali kotor (Arab News, 2025).Â
Botol plastik ada di mana-mana di pantai. Padahal seharusnya nggak ada di sana. Kebijakan ini penting untuk bantu ngurangin masalah tersebut. Walau ada pro dan kontra dari masyarakat dan pelaku usaha.
Proses Pengambilan Kebijakan dan Dinamika Pemangku Kepentingan
Untuk lebih paham soal kebijakan ini, kita harus lihat gimana kebijakan itu dibuat.Â
Sebelum kebijakan keluar, Pemprov Bali pastinya melakukan riset dulu. Karena sampah plastik udah jadi masalah besar, kebijakan ini dibuat berdasarkan data yang ada.Â
Ini namanya evidence-based policy making. Yaitu kebijakan yang dibuat berdasarkan fakta di lapangan.
Pemprov Bali menemukan, salah satu penyumbang sampah terbesar adalah botol plastik 220 ml. Botol ini susah didaur ulang dan jumlahnya banyak banget.Â
Terutama di tempat wisata. Karena itu, Bali memutuskan untuk larang botol plastik kecil. Selain itu, Bali juga ngajak pengusaha pakai kemasan yang ramah lingkungan. Seperti kaca atau kemasan yang lebih mudah didaur ulang.