Di tengah bulan Ramadan, korupsi terus merajalela, mengungkap krisis moral yang mengakar di masyarakat.
Hidup kadang penuh dengan kontradiksi yang sulit dipahami. Misal, di tengah Ramadan dengan ketenangan, refleksi diri, dan perubahan positif. Kita malah lihat fenomena yang mengganggu. Pejabat negara yang terlibat dalam praktik korupsi. Ironis kan?Â
Ramadan, yang harusnya jadi waktu untuk membersihkan diri. Malah jadi momen para pejabat kita makin terbuka melakukan hal-hal yang tak seharusnya mereka lakukan.
Paradoks Moralitas di Bulan Suci
Memasuki bulan yang penuh rahmat dan ampunan, harusnya kita merenung dan berusaha lebih baik. Namun, kita malah disuguhkan kenyataan pahit bahwa korupsi terus meluas.Â
Kita mungkin ingat beberapa kasus besar yang terjadi belakangan ini. Pejabat-pejabat yang mestinya memberi contoh moral malah berbuat sebaliknya.Â
Ramadan yang harusnya jadi waktu untuk merenung dan memperbaiki diri. Justru jadi latar belakang bagi beberapa pejabat untuk terlibat dalam tindakan yang jauh dari nilai-nilai yang harusnya kita pegang.
Sungguh sebuah ironi. Bagaimana bisa kita mengharap perubahan moral. Ketika pejabat yang memimpin dengan contoh malah semakin tenggelam dalam praktik yang merusak?Â
Ini bukan soal individu yang salah. Tapi pada krisis cara pandang yang tengah melanda kita sebagai bangsa.
Jujur 'Aneh', Korupsi 'Lumrah'?
Salah satu hal yang membuat tertegun adalah kenapa kita sering menganggap pejabat yang jujur itu "aneh" dan tidak realistis. Mengapa kita justru menganggap mereka yang korup sebagai "realistis"?Â
Korupsi, yang jelas merugikan banyak orang dan negara, malah dipandang wajar. Begitu banyak orang yang lihat korupsi sebagai bagian dari sistem yang dijalani. Bukan sebagai sebuah tindakan yang harus diperangi.Â