Apakah Indonesia sedang mundur ke era Dwifungsi ABRI? RUU TNI disahkan, supremasi sipil kini terancam.
Pagi ini (20/3), di ruang sidang DPR yang megah. Para anggota dewan mengetuk palu tanda pengesahan RUU TNI.Â
Di luar, suara massa bergemuruh. Poster-poster berisi protes terangkat tinggi. Wajah-wajah penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama aspirasi publik kalah oleh kehendak elite politik.
Saya membayangkan orang-orang yang baca berita ini.Â
Ada yang menggelengkan kepala. Ada yang langsung menutup tab berita dengan kesal. Merasa ini hanya satu lagi episode dari drama politik Indonesia yang melelahkan.Â
RUU ini bukan sekadar kumpulan pasal yang direvisi. RUU ini bisa mengubah banyak hal. Hubungan sipil-militer. Keseimbangan kekuasaan. Bahkan arah demokrasi kita ke depan.Â
Jika kita tidak memahami apa yang sedang terjadi. Mungkin suatu hari kita akan bangun di negara yang sudah berbeda dari yang kita kenal.
Apa yang Berubah?
DPR dan pemerintah memutuskan untuk tetap mengesahkan RUU TNI. Meski ada gelombang penolakan dari masyarakat sipil. Menurut Tempo (20 Maret 2025), revisi ini mencakup tiga perubahan utama:
1. Kedudukan TNI yang diperjelas dalam undang-undang
2. Usia pensiun prajurit diperpanjang
3. Jumlah institusi sipil yang bisa diisi oleh perwira aktif TNI bertambah dari 10 menjadi 15
Poin terakhir inilah yang paling kontroversial. Sebab jika makin banyak posisi sipil yang diisi oleh prajurit aktif. Berarti makin tipis batas antara militer dan pemerintahan sipil.
Sejak reformasi 1998, kita berusaha memastikan bahwa tentara tetap di barak. Tidak lagi terlibat dalam politik atau pemerintahan sipil. Tapi dengan revisi ini, kita seolah mundur ke masa lalu.