Keterjangkauan perumahan di Indonesia semakin sulit, terutama bagi kelas menengah dan generasi muda.
Saya duduk di teras rumah sambil menunggu waktu berbuka puasa. Ponsel di tangan, saya membuka artikel di Kompas tentang masalah perumahan di Indonesia.Â
Saya mulai tenggelam dalam membaca, tanpa sadar perasaan yang sudah lama kuabaikan muncul kembali. Dulu, memiliki rumah adalah simbol dari kerja keras. Sekarang, apakah rumah yang layak hanya akan jadi impian bagi generasi muda?
Harga properti terus naik, sementara pendapatan tak seimbang dengan harga tanah. Apakah memiliki rumah semakin tak terjangkau, bahkan untuk yang sudah bekerja keras?Â
Jika ini terus berlanjut, apakah generasi mendatang masih bisa punya rumah yang layak?
Realitas Kelas Menengah dan Generasi Muda
Saya berasal dari keluarga kelas menengah, ayah dan ibu PNS. Sejak kecil, saya diajarkan rumah adalah pencapaian hidup. Ketika dewasa, membeli rumah jadi tujuan utama. Bukan hanya untuk tempat tinggal, tapi juga sebagai simbol stabilitas.Â
Tapi kenyataan kini berbeda. Walau sudah punya rumah, saya sadar banyak orang, terutama generasi muda dan kelas menengah, yang kesulitan meraihnya.
Sekarang banyak yang merasa terjebak dalam pasar perumahan yang mahal.Â
Data dari BPS menunjukkan defisit perumahan besar. Pada 2020, ada lebih dari 12 juta unit backlog perumahan di Indonesia, dan hampir 10 juta unit ada di perkotaan (Kompas.id).Â
Ini membuat banyak orang terpinggirkan, terutama yang baru memulai hidup mandiri.