Filosofi, politik, dan birokrasi selalu berinteraksi, kadang harmonis, kadang saling menelikung demi kekuasaan dan kontrol.
Kenapa sistem administrasi antar negara bisa begitu berbeda satu sama lain? Mengapa di negara demokratis birokrasinya cenderung lebih terbuka, sementara di negara otoriter sering kali bersifat kaku dan hierarkis?Â
Jawabannya terletak pada bagaimana nilai-nilai filosofis dan politik membentuk administrasi negara dari waktu ke waktu.
Administrasi negara selalu ingin independen, tapi pada akhirnya selalu ditarik ke pusaran politik.Â
Seperti seorang Gen Z fresh graduate yang ingin fokus karir, tapi terus diminta untuk menghadiri acara resepsi keluarga berbau politik bapak emaknya. Â
1. Warisan Filosofis dalam Administrasi Negara Â
Setiap sistem administrasi negara tidak muncul begitu saja. Ada gagasan besar di baliknya, dan beberapa di antaranya berasal dari pemikir legendaris seperti Plato, Machiavelli, dan Marx. Â
Plato, dalam karyanya The Republic, menggambarkan sebuah negara ideal yang dipimpin oleh seorang philosopher-king.Â
Baginya, negara harus dikelola oleh mereka yang memiliki kebijaksanaan dan kebajikan moral, bukan sekadar orang yang lahir dari keluarga berkuasa.Â
Filosofi ini mencerminkan bentuk pemerintahan meritokratis yang masih relevan hingga kini, terutama dalam sistem birokrasi berbasis kompetensi seperti di negara-negara Skandinavia. Â
Berbeda dengan Plato yang berorientasi pada kebijaksanaan, Machiavelli lebih pragmatis.Â