Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puasa dan Momentum Perdamaian

5 Juni 2016   22:25 Diperbarui: 5 Juni 2016   23:09 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tarawih hari pertama di Bogor (Arsip pribadi)

“Hai, orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa “. (QS Al-Baraqah [1]:  183).

Pada bulan suci Ramadhan ini, silaturrahmi antar kelompok masyarakat berjalan simulan dan alami. Tradisi silaturrahmi pun dilakukan dengan para pendahulu yang sudah meninggal dunia melalui ziarah ke makam mereka. Makna puasa memiliki makna yang amat relevan.

Di tengah ancaman intoleransi, baik dalam hubungan antara agama, bulan puasa sejatinya mampu mendinginkan jiwa yang berkobar akibat dari ambisi tertentu. Tidak pada tempatnya jika kesadaran keberagaman digunakan sebagai langkah konfik, dan kebencian.

Tradisi puasa sejak awal diperintahkan Tuhan, telah mengi-syaratkan tentang pentingnya menjadikan puasa sebagai titik temu, sebagai bagian dari keberagaman tersebut. Puasa tidak hannya diwajibkan bagi umat Islam, tetapi juga pada umat lainnya. Menurut Al-Zamakhsyari puasa merupakan tradisi umat terdahulu sejak nabi Adam AS.

Bahkan seluruh umat terdahulu juga melaksanakan puasa dengan tujuan untuk memupuk takwa dan keimanan mereka. Dan Islam dengan ajaran puasanya bertujuan melanjutkan misi profetik agama-agama sebelumnya.

Misi profertik seperti ini yang harus mampu menggugah kesadaran kolektif dalam berbangsa dan bernegara. Puasa menjadi jembatan emas untuk mendekatkan perasaan, akal pikiran dan nuranai kita bahwa pada hakikatnya tiap agama mempunyai tujuan yang sama, yakni sebagai penyebar kebajikan dan rahmat bagi semua umat di dunia. Karena itu puasa sebagai pesan teks yang harus digali terus-menerus agar makna mampu termanifestasikan dalam realitas kehidupan kita.

Menurut Khaled Abou El-Fadl (2005), semua pesan dalam teks keagamaan pada hakikatnya terkait subyektifitas etika dan komitmen pembacanya, bukan hannya itu, pembacaan juga bergantung pada metode yang digunakan pembaca teks itu. Maka, memaknai puasa sejatinya tidak hannya dalam konteks pembebasan individual yang dikenal sebagai rutinitas dan ritualitas belaka sebagaimana berlaku umumnya, tetapi harus ditarik lebih luas guna membebaskan berbagai masalah sosial kemasyarakatan.

Momentum Perdamaian

Perdamaian bukan suatu hal yang baru dalam tradisi agama. Perdamaian merupakan ajaran yang inheren dalam tiap agama, khususnya Islam. Artinya, tanpa spirit perdamaian sebenarnya ada sesuatu yang hilang dalam agama. Islam berasal dari kata al-salam yang berarti perdamaian dan keselamatan.

Istimewanya, perdamaian bukan hannya sekedar doktrin, tetapi juga menjadi khazanah yang membanggakan. Perang dan konflik tak bisa dinafikan tersimpan dalam setiap sejarah agama-agama, tetapi juga perdamaian juga menjadi khazanah yang tak bisa diabaikan, begitu saja.

Sebab alasan utama adalah, tanpa perdamaian tata kehidupan manusia tak bisa abadi. Bagir Muhammad Al-Hakim mengatakan, tak ada kebajikan yang dapat dicapai melalui kehidupan berdampingan antara satu agama dengan agama lainnya. Meskipun demikian, satu hal yang tak bisa dipungkiri, adalah perdamaian mulai hilang dalam radar peradaban kemanusian.

Yang mengemukan adalah kecenderungan untuk mengedepankan kebencian dari perdamaian. Yang lain kerap dianggap sebagai ancaman dan bahaya. Ada fakta dimana kita tidak mau dan tidak mampu hidup berdampingan dengan damai antara satu agama dengan agama lainya.

Sehingga dalam hal ini, puasa sejatinya dapat menjadi momentum untuk mengigatkan kita tentang pentingnya perdamaian. Puasa merupakan salah satu bukti, persamaan dan titik temu merupakan sesuatu yang niscaya dalam setiap agama. Dalam beragama yang harus dicari adalah persamaan yang kian mendekatkan hati. Puasa merupakan salah satu ritual ke-agamaan yang di dalamnya termuat pesan perdamaian.

Apalagi puasa merupakan sekolah rohani paling efektif untuk meredam emosi dan amarah. Pada saat berpuasa, keinginan kita untuk merusak pasti akan teredam secara otomatis. Puasa mengajarkan kita untuk senantiasa menjaga lisan dan tangan dari tindakan destruktif. Artinya, puasa akan bermakna jika pesan tentang perdamaian mampu dijadikan prilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Puasa akan bermakna jika kecenderungan untuk menebarkan kebencian dapat ditinggalkan dan beralih untuk membangun pentingnya hidup berdampingan dengan cara yang damai. Imam Gozali mengatakan, poros utama tingkah laku manusia adalah hati. Karena itu, mengisi hati dengan pesan perdamaian akan menjadi modal baik untuk konteks keberagaman kita saat ini.

Demikian juga dengan ibadah puasa akan diuji sejauh mana kita mampu mengambil hikmah sebanyaknya untuk menebar perdamaian. Menurut Ibnu Khaldun, keberagaman yang baik adalah keberagaman yang membumi dan mampu beradaptasi dengan realitas kebudayaan dan peradaban.

Membangun peradaban yang di dalamnya mengukuhkan perdamaian merupakan misi utama yang sejatinya dapat tersosialisasi pada bulan Ramadhan ini. Selamat menjalankan ibadah puasa dengan penuh kedamaian. Wallahu alam bissawab.

Marhaban ya Ramadhan. 

Bogor, 5 Juni 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun