Pengalaman pribadi. Mungkin juga dialami pribadi lainnya di TKP yang sama atau di TKP yang tidak sama. Cerita bermula ketika mantan pacar memberiku uang Rp 500 ribu. "Sana bikin SIM C," katanya khawatir melihatku yang tiap hari naik motor enggak punya SIM. Kalau ketangkap polisi bakal kena denda hingga ratusan ribu. Ditambah motornya bisa ditahan.
Sebenarnya uang sebanyak itu bukan buat SIM dengan mengikuti ujiannya dari teori hingga praktek lapangan. Tapi buat nyuap atau nyogok. Pasaran nyogok memang segitu. Kalau tidak nyogok hanya Rp 120 ribu. Bisa hemat sampai Rp 380 ribu.
Aku punya niat baik tidak mau nyogok. Aku kembalikan uang Rp 380 ribu kepada mantan kekasihku. Biarlah buat belanja. Biarlah aku bercape-cape dapatkan SIM pake jalan biasa saja.
Ketika aku memasuki TKP sebuah Polresta terpampang spanduk larangan nyuap dan nyogok begitu terang-benderang. Berarti ada niat dari pimpinan Polri dan jajarannya untuk tidak menerima suap berapapun besarnya. Berlaku layaknya polisi bersih kaya Jenderal Hoegeng.
Tahapan pertama ambil berkas-berkas yang harus aku tulis. Lalu memasukkan uang Rp 120 ribu ke loket kasir. Eh sebelumnya harus periksa kesehatan.
Saat periksa kesehatan aku langsung lemes. Pasalnya, aku terbilang buta warna sebagian. Pernah waktu mau ambil SIM A tepaksa nyogok biar bisa lulus tes kesehatan khususnya bebas buta warna. Bakal gagal lagi pikirku.
Aku masuk ruangan setelah bayar Rp 50 ribu. Entah uang apa itu. Yang jelas tidak ada ketentuan test kesehatan harus bayar. Yang ada justru pemberitahuan tidak ada bayaran sepeserpun.
Saat berada di ruangan test buta warna persis di depanku sehingga aku bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi antara petugas dan pemohon SIM. Satu demi satu pemohon SIM mendatangi meja tersebut lalu mengikuti test.
Aku terus mengingat-ingat lembaran demi lembaran berkas buta warna hingga ada sekitar tujuh lembaran. Terekam sudah dalam ingatanku warna-warna yang aku harus sebutkan pada lembaran pertama, kedua, ketiga hingga lembaran terakhir.
Dengan mengandalkan ingatan itulah aku duduk di depan petugas. Aku jawab bukan berdasarkan apa yang aku lihat tapi berdasarkan apa yang aku ingat. Seingatku ada satu lembar atau dua lembar ujian yang aku sulit mengingatnya karena lupa. Jadi main tebak-tebakan saja. Hasilnya lulus.
Saat ujian teori di depan komputer hatiku mantap. Satu demi satu soal yang disodorkan bisa aku jawab. Kalau teori mah gampang. Benar saja. Hasil ujian teori lulus dengan nilai 80-an. Kalau kejawab semua nilainya 100. Berarti aku termasuk pintar dong.