Mohon tunggu...
Muhammad Ahsan
Muhammad Ahsan Mohon Tunggu... lainnya -

Sang Hitam yang Memeluk Sang Putih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Strategi AS, Memasuki Sistem Pemerintahan Aljazair

20 April 2013   20:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:53 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aljazair adalah Negara yang terletak di wilayah Afrika Utara. Suku asli wilaya Aljazair adalah suku Berber. Pernah menjadi Negara di bawah kekuasaan asing selama lebih dari tiga ribu tahun.. Hingga datangnya orang-orang Arab di abad ke delapan dan menumbuhkan sifat perlawanan higga sempat menduduki wilayah Mesir. Warga Aljazair yang saat ini kita ketahui adalah orang-orang telah bercampur dari bangsa manapun. Hal ini disebabkan karena lamanya Aljazair di jajah oleh bangsa lain. Sebut saja Perancis, negara ini adalah salah satu negara yang lama menduduki wilayah Aljazair. Hingga akhirnya banyak memberikan keturunan di Aljazair. Pada tahun 1990-an, Aljazair dilanda perang saudara yang sangat berbahaya dan berkepanjangan yang disebabkan karena kekuasaan politik dimana militer Aljazair yang terindikasi telah di intervensi oleh Barat khusunya Perancis, menghalangi partai politik Islam yaitu Front Keselamatan Islam, mengambil kekuasaaan setelah pemilihan umum di negara tersebut. Lebih dari 100.000 orang terbunuh, kebanyakan dalam pembantaian penduduk sipil yang tak beralasan, oleh kelompok gerilyawan seperti Kelompok Islam Bersenjata. perihal inilah yang akan saya bahas dalam essay ini.
Setelah diputuskan oleh majelis rakyat nasional, mulai tahun 1990 bahasa Arab adalah baha resmi Aljazair dan melarang perusahaan-perusahaan swasta dan partai politik menggunakan bahasa Perancis ataupun bahasa asli Aljazair yaitu bahasa kaum Berber. Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk kurang tolerannya pemerintah terhadap warga Aljazair yang berlatar pendidikan barat dan bangsa asli mereka yaitu Berber. Kebijakan ini juga sempat membuat kekacauan di Aljazair karena pemerintah dianggap telah telah menyinggung masalah agama dan politik.
Sedikit membahas tentang sistem pemerintahan di negara Aljazair, negara ini menganut sistem pemerintahan semi presidensial. Dimana kepala negara dijabat oleh seorang presiden sementara kepala pemerintahan dijabat oleh seorang perdana menteri. Presiden dipilih untuk masa 5 tahun, dapat diperpanjang sekali lagi (hanya 2 periode jabatan) dengan hak pilih bersama. Presiden juga memiliki tugas sebagai Kepala Dewan Menteri dan Dewan Keamanan Tinggi. Presiden juga mengangkat PM yang merupakan Kepala Pemerintahan. PM yang mengangkat para Dewan Menteri.Parlemen Aljazair adalah Bikameral, terdiri dari Majelis Rendah, Majelis Rakyat Nasional (APN), dengan 380 anggota dan majelis tinggi, Dewan Negara, dengan 144 anggota, APN dipilih tiap lima tahun lewat pemilihan umum.
Selain itu, Aljazair juga memiliki peran kepemimpinan di gerakan non blok, namun hal ini tidak serta merta menjadi perhatian besar negara adidaya yaitu Amerika Serikat. Tapi tetap saja krisis Aljazair menyentuh banyak masalah peka yang terkait dengan kepentingan serta sekutu-sekutu AS di Afrika Utara dan sekitarnya.

Isu-isu peka terkait kepentingan sekutu-sekutu AS di Aljazair tentang keamanan Eropa (membanjirnya pengungsi Aljazair, makin radikalnya Muslim di Eropa, dan hambatan-hambatan dalam perdagangan), hubungan Amerika-Perancis yang lebih memuaskan, gerakan Islam yang makin berani di Mesir, Tunisia, Maroko, dan Libya, serta potensi meningkatnya ketegangan antara dunia Islam dengan dunia Barat. Yang paling penting, reaksi AS terhadap peristiwa-peristiwa berdarah di Aljazair bisa menjadi kasus ujicoba yang menunjukkan cara-pandang para pembuat kebijakan Amerika dalam melihat Islam politik dan kedekatan antara Islam dan demokrasi. Bagi banyak muslim di dunia, Aljazair dipandang sebagai contoh bagaimana Barat berpotensi untuk berbaikan dengan Islam dan bagaimana Amerika Serikat bisa toleran dan berdampingan dengan sebuah pemerintahan Islam yang dipilih oleh rakyat. Sebagian pemimpin Islam telah memperingatkan bahwa dukungan Barat terhadap penghentian proses demokrasi di Aljazair bisa menjauhkan kaum muslim dari nilai-nilai Barat, sehingga makin mengasingkan mereka dari demokrasi. Padahal dalam Al-Qur’an, Islam pun mengajarkan untuk berdemokrasi walaupun bukan berbentuk konsep. Paling tidak kata Syura dalam Al-Qur’an adalah kata lain dari demokrasi dalam Islam seperti yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid dalam buku Islam, Doktrin dan Peradaban.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah sikap pemerintahan AS saat kepemimpinan Bill Clinton terhadap krisis Aljazair? apakah Clinton menerapkan strategi akomodasionis terhadap kubu oposisi Islamis di Aljazair, yaitu Front Penyelamatan Islam (FIS)? Jika benar begitu, apakah pendirian pemerintahan Clinton pada Aljazair merupakan sebuah perluasan dari pendekatan Amerika yang lebih berbeda dan liberal terhadap kaum Islamis secara umum? Ataukah reaksi pemerintahan AS terhadap kaum Islamis Aljazair merupakan pengecualian dan bukannya prinsip yang utama? Inilah yang akan menjadi tujuan pembahasan pada essay kali ini.

Berbeda dengan pemerintahan George Bush, yang pada awalnya mengikuti Perancis dalam dukungannya bagi pemerintahan militer serta tidak mengikutsertakan kelompok “Fundamentalis Radikal”, pemerintahan Clinton sejak awal membangun sikap apresiatif yang peka dan berbeda terhadap FIS serta realitas-realitas situasi politik di Aljazair. Pemerintahannya mencoba bersikap seimbang di antara kelompok Islamis yang dipresentasikan oleh FIS dan pemerintahan Aljazair pada saat itu. Clinton mencoba untuk membujuk kedua pihak untuk duduk bersama dan berkompromi secara patut. Meskipun sebenarnya pemerintahan Clinton menghindari keberpihakan dalam perang saudara di Aljazair, pemerintahan Clinton diam-diam menekan pemerintahan Aljazair untuk melanjutkan pemilu yang saat itu telah dibatalkan, membersihkan catatan pelanggarannya HAM-nya yang mengerikan, memperbaiki sistem ekonomi sosialisnya, dan memulai negosiasi-negosiasi serius dengan kelompok Islamis oposisi arus utama.
Selanjutnya antara tahun 1993 dan 1994, pemerintahan Clinton mengambil jarak dari rezim Aljazair dengan menutup hubungan-hubungan diplomatic tingkat tinggi dengan pemerintahan yang sedang berkuasa dan mengkritik pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Aljazair. Tidak ada satupun pejabat senior AS yang mengunjungi Aljazair sampai pemilihan presiden Aljazair pada tahun 1995. Para diplomat AS khawatir bahwa hubungan-hubungan tinggi dengan rezim Aljazair akan dilihat sebagai cek kosong untuk dukungan bagi para “penumpas”, mereka yang menginginkan perang besar-besaran terhadap kaum Islamis di tubuh militer.
Pada akhir 1993, pemerintah AS melakukan pembicaraan tertutup dengan wakil FIS yaitu Anwar Haddam, yang diberikan izin izin untuk tinggal di Amerika Serikat. Beberapa pengamat beranggapan bahwa hubungan pemerintahan Clinton dengan FIS sepantasnya dilihat sebagai kebijakan “asuransi” untuk menghindari penjulukan Amerika sebagai “setan besar” oleh rakyat Aljazair, seperti yang dilakukan oleh para mullah Iran, jika sewaktu-waktu FIS mengambil alih pemerintahan.sebagian pembantu Clinton menyatakan bahwa pendekatan baru mereka terhadap Aljazair bisa dijelaskan oleh kebutuhan untuk menempatkan segala hal dalam waktu yang tepat: “waktu adalah faktor terpenting dalam analisis kebijakan, karena waktu menciptakan ketidakpastian dan realitas-realitas baru.”
Ketika Clinton baru memegang jabatan di bulan Jnuari 1993, situasi keamanan di Aljazair sedang memburuk. Saat itu timbul keyakinan dikalangan para pejabat AS dan pemerintahan barat bahwa rezim militer Aljazair mulai kalah dari kaum Islamis, yang akan segera mengambil alih kekuasaan. Seperti yang dikatakan oleh pejabat Departemen Luar Negeri AS: ”kita menghadapi kondisi buntu di Aljazair. Makin lama keadaan ini berlangsung, situasinya makin berbahaya. Akhirnya kubu Islam moderat akan teralienasi. Ini menjadikan pemerintahan Clinton mengambil langkah kompromistis yang timbul dari pragmatism, bukan dari pemikiran filosofis yang dalam”.
Ketergesaan ini menunjukkan niat Washington untuk menjaga elemen-elemen moderat di dalam kelompok oposisi Aljazair. Bukan untuk mengguncang pemerintahan Aljazair, upaya-upaya AS itu justru dirancang untuk menjaganya dari kejatuhan, dan untuk mencegah bangkitnya kekuasaan Islamis, dengan menyerukan perjanjian pembagian kekuasaan antara kedua pihak yang sedang bertikai. Kenyataannya, kebijakan yang cenderung berpihak pada FIS itu disusun oleh dua pejabat muda Departemen Luar Negeri AS. Kebijakan ini berakhir tahun 1995, ketika Pelletreau menggeser kedua pejabat junior itu.
Antara tahun 1993 dan 1995, pejabat-pejabat senior Clinton membentuk pandangan AS terhadap Aljazair melalui rangkaian pernyataan yang dikeluarkan dihadapan Subkomisi Afrika, Komisi Hubungan Internasional DPR. Pada Mei 1993, Djerejian, mantan asisten Menlu untuk urusan Timur Dekat, mengatakan bahwa situasi yang terjadi saat ini di Aljazair bersumber dari frustasi rakyatnya yang merasa aspirasi politik serta ekonominya tidak terpenuhi. Djerejian berulang kali mengecam rezim Aljazair karena kegagalannya menerapkan perbaikan ekonomi dan politik yang nyata: “kita tidak bisa menutup mata bahwa ada jurang lebar antara tujuan yang dinyatakan secara resmi dan tindakan nyata.”
Djerejian juga mengkritik pemerintahan Aljazair karena hanya mencapai kemajuan kecil dalam merestorasi proses demokrasi dan memperbaiki catatan HAM mereka yang “mengganggu”. Menurut Djerejian, masalah-masalah Aljazair tidak dapat diselesaikan melalui cara-cara keamanan, sementara masalah-masalah politik, ekonomi, dan sosialnya tidak ditangani. Pemerintahan Djerejian ini merupakan tuduhan eksplisit kepada junta militer. Suatu perubahan sikap yang tandas dan substansial dari pemerintahan Bush.
Hampir setahun kemudian, perang saudara memuncak secara mengerikan, merengut korban lebih dari 40.000 jiwa.Di saat peperangan makin berdarah, bayangan unsur-unsur militant seperti Kelompok Islam Bersenjata (the Armed Islamic Group, GIA) menutupi keberadaan kelompok-kelompok Islamis arus utama seperti FIS. Terpinggirkannya FIS disikapi dengan serius oleh rezim Aljazair, juga oleh pemerintahan Clinton.
Robert Pelletreau menyatakan, nuansa baru pada interpretasi AS pada perebutan kekuasaan yang terjadi di Aljazair itu. kebangkitan Islam politik, menurutnya, bisa dikatkan dengan ketimpangan sosial-ekonomi dan “pencarian identitas baru yang berakar pada tradisi.” seperti rekan-rekannya di departemen luar negeri, Polletreau secara tak langsung memperingatkan pemerintah Aljazair agar tidak bergantung pada langkah-langkah keamanan dalam upayanya menyelesaikan krisis tersebut. Lebih lanjut dia juga menyatakan, bahwa rezim Aljazair harus segera menagani isu-isu sosial dan ekonomi serta memperluas partisipasi politik di negeri itu.
Pemerintahan Clinton berusaha menunjukkan pada rezim militer Aljazair bahwa dibutuhkan dialog dengan unsur-unsur oposisi secular maupun Islamis yang berkemauan untuk bekerja sama mencapai solusi tanpa kekerasan. Berbeda dari paris yang tidak melihat adanya akibat sampingan dari krisis Aljazair itu, Pelletreau menyatakan bahwa semakin banyaknya “keuntungan kelompok Islamis radikal” di Aljazair bisa menguatkan kelompok-kelompok ekstreamis di Mesir, Tunisia, dan Maroko, Sekutu-sekutu penting AS di wilayah itu. ketidakstabilan di Aljazair juga bisa memicu lubernya pengungsi ke Perancis dan negara-negara lain di Eropa Barat. Lebih jauh lagi, Pelletreau memperingatkan agar orang jangan sembarangan membuat generalisasi tentang kebangkitan Islam di Afrika Utara. Kebangkitan ini, terlalu cair dan beragam untuk bisa disebut sebagai sebuah gerakan.
Menurut dua pejabat Amerika yang paham akan permasalahan ini, pentingnya posisi Afrika Utara secara strategis berhubungan erat dengan perang dingin. Departemen Pertahanan melihat kawasan ini sebagai medan alternative bagi operasi-operasi militer untuk mengimbangi kubu Soviet jika sewaktu-waktu pecah pertempuran. Akhir dari perang dingin, bersama dengan perlawanan politik dan kekacauan di Afrika Utara selama perang Teluk 1991, mematahkan teori ini. Departemen Pertahanan sudah tidak tertarik lagi dengan kawasan ini. “peristiwa-peristiwa di Afrika Utara, termasuk Aljazair, tidak lagi punya dampak besar pada kebijakan luar negeri AS.”seorang pejabat NSC (Dewan Keamanan Nasional) menjabarkannya lebih jelas: “tidak ada yang peduli lagi pada Aljazair karena kepentingan vital kita tidak terkait dengannya.”
Beberapa pejabat Departemen Luar Negeri AS juga mengabaikan analogi kasus Aljazair dengan Iran. Mereka melihat bahwa posisi Clinton di Aljazair tidak lagi ditentukan oleh kondisi dua kubu seperti era 1980an ataupun ketakutan pada Republik Islam Iran. Aljazair adalah kasus yang berbeda dari Iran. Kaum Islamis Aljazair tidak seidealis kawan-kawan Iran mereka. Menurut para diplomat ini, ideology kelompok Islamis Aljazair ini kurang diangkat, dan yang lebih diperhatikan adalah isu-isu sosial-ekonomi yang lebih masuk akal dengan kenyataan begitu populernya FIS dalam jajak-jajak pendapat.

Di akhir 1995, kedekatan baru antara AS dengan Aljazair semakin mengkristal. Pemerintahan Clinton memandang hasil pemilu Presidensial di bulan November 1995 yang dimenangkan Zeroual dengan mayoritas besar sebagai sebuah kesempatan untuk menyelesaikan krisis Aljazair. Tetapi para pejabat AS khawatir kalau sampai para “penumpas” di dalam militer Aljazair menginterpretasikan hasil pemilu itu sebagai mandate bagi mereka untuk meningkatkan tekanan mereka terhadap kelompok Islamis. Untuk mengganjal kemungkinan itu, pemerintahan Clinton mengirim sinyal pada Zeroual bahwa AS ingin kembali lebih aktif terlibat di Aljazair dengan syarat ia memenuhi janji-janji reformasinya. Pada 1995 dan 1996, Clinton menulis dua surat kepada Zeroual, mendorong untuk lebih bersikap inklusif agar Zeroual berusaha sekuat daya untuk mengulurkan tangan lebih jauh pada jajaran oposisi yang tidak menganut kekerasan untuk mencapai rekonsiliasi nasional dan reformasi ekonomi. Clinton menyampaikan pada Zeroual bahwa pemerintah AS akan mendukungnya saat ia mengambil langkah-langkah untuk memperluas dan mempercepat proses tersebut.
Saat pejabat pelletreau mendatangi Aljazair pada bulan Maret 1996, dia menyampaikan pidato di Aljir ibukota Aljazair, dia mengatakan bahwa pemerintahan Bill Clinton telah siap untuk memperkuat dukungannya bagi upaya presiden Zeroual mengakhiri bentrokan sipil dengan para fundamentalis Islam. Asistem menteri ini memuji Zeroal atas niatnya untuk berdialog dengan kelompok oposisi serta upayanya membuka proses politik. Pelletreau juga memuji Aljazair untuk partisipasi mereka dalam “pertemuan puncak para pejuang perdamaian” (summit of peacemakers) di Syarm al Syeikhs, Mesir, berkaitan dengan proses perdamaian Arab-Israel dan perang global terhadap “terorisme”.Pelletreau menyatakan, kunjungan ini memberinya pemahaman yang lebih baik mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi pemerintah Aljazair serta kebijakan-kebijakannya.Dalam testimoninya di komisi Hubungan Luar Negeri Senat sebulan setelahnya, pelletreau lebih jauh mengembangkan lagi pandangan baru pemerintah terhadap Aljazair. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah AS menilai pemilu presidensial tahun 1995 di Aljazair sebagai penguat pemerintahan Zeroual. Tapi ia mengemukakan “optimism y6ang berhati-hati”, dengan memperingatkan bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan untuk meliberalisasi ekonomi dan mengonsolidasi kemajuan kearah keterbukaan politik. Proses kembar liberalisasi ekonomi dan politik ini, tambah Polletreau, merupakan kunci menstabilkan situasi. Tapi ia menekankan bahwa proses ini, “haruslah nyata. Kata-kata, bagaimanapun bagusnya, tidak akan cukup. Yang dibutuhkan adalah tindakan.”
Maka, kebijakan AS terus memberi tekanan pada kebutuhan akan rekonsiliasi nasional dan pluralism politik di Aljazair. Sejak awal, pemerintahan Clinton selalu konsisten dengan pendirian ini. pemilu presidensial tahun 1995 di Aljazair memunculkan dua implikasi besar bagi kebijakan Amerika. Pertama, hasil pemilu melegitimasikan Zeroual di mata AS, membuatnya jadi seorang narasumber kredibel untuk membicarakan kemungkinan mencari solusi bagi masalah parah Aljazair ini. dalam kunjungannya ke Aljir, Pelletreau mengatakan pada Zeroual bahwa Washington akan membantu Zeroual untuk terus mengupayakan reformasi ekonomi dan politik: “kami menyebutnya sebagai sebuah pensyaratan postif.”
Pelletreau menambahkan kata “positif” agar tidak terdengar sebagai ancaman atau intervensi. (orang-orang Aljazair cenderung sangat peka dengaan sedikit saja kemungkinan internsi asing, karena pernah mengalami penjajahan yang berdarah.) pemerintahan Clinton memutuskan utnuk memakai “pensyaratan” ekonomi sebagai alat politik. Mereka memberi bantuan dengan syarat pemerintah Aljazair setia pada komitmennya bagi reformasi politik yang nyata.
Menurut Pelletreau, langkah-langkah politik saja tidaklah cukup, “tetapi harus dipadukan dengan usaha kuat melaksanakan kebijakan politik inklusif, bersamaan dengan reformasi ekonomi. Bagi Amerika, Aljazair harus lebih meliberalkan menswastakan perusahaan-perusahaan serta industry-industri negaranya. Negara Aljazair memainkan peran pengambil keputusan dalam mengatur ekonomi. Perkembangan ini memperlihatkan keyakinan baru yang dirasakan oleh pemerintah AS tentang Aljazair, serta kemauan baru untuk mengambil resiko: resiko bagi kepentingan barat telah makin dikurangi. Dengan kian redupnya kekuatan politik kelompok Islamis, para pejabat Amerika tidak lagi mengkhawatiri terjadinya kemenangan Islamis di Aljazair. Meski begitu, antara 1993 dan 1996 pemerintahan Clinton selalu konsisten untuk mencoba mendorong pemerintah Aljazair kearah keterbukaan politik: menjal;ankan lagi proses electoral yang normal dan melibatkan unsure-unsur Islamis Pragmatis dalam pemerintahasn. Dalam kasus Aljazair ini tampaknya pemerintahan Clinton berharap untuk lebih mempromosikan isu pluralism, dengan menekan pemerintah Aljazair agar menerapkan reformasi politik yang inklusif, bukan ekslusif. Selanjutnya, di akhir 1995, para pejabat AS tampak tertarik untuk meninggalkan sikap low profile mereka dan memainkan peran diplomatic yang lebih aktif dalam krisi Aljazair. Hal yang termasuk dalam strategi ini adalah mendorong pemerintahan Zeroal untuk bernegosiasi dengan kelompok oposisi non kekerasan dengan menawarkan insentif ekonomi dan dukungan politik. Sebuah peralihan taktis terjadi dalam pernyataan-pernyataan Amerika tentang Aljazair. Dalam berbagai testimony dan wawancara, Polletreau membanjiri Zeroual dengan pujian karena telah berjanji untuk melanjutkan proses liberalisasi. Ia juga menekan peran kepemimpinan Aljazair teletak di Afrika Utara, Timur Tengah, dan wilayah Mediterania yang lebih luas. Neurut Pelletreau, pentingnya posisi Aljazair terletak pada dukungannya bagi proses perdamaian Tmur Tengah, stabilitas regional, serta investasi-investasi besar AS, baik swasta maupun negara, dalam sektor hidrokarbon negara itu.
kalimat-kalimat Pelletreau ini merepresentasikan beralihnmya pernyataan-pernyataan lama Amerika mengenai Aljazair, yang tidak mengangkat isu investasi politik maupun materil Washington di negeri itu. sebaliknya, pernyataan-pernyataan Pelletreau yang belakangan menggaris bawahi kepentingan geopolitik serta ekonomi di negeri tersebut, meningkatkan kemungkinan keterlibatanh Amerika yang lebih dalam. Tentu saja, pemerintahan Clinton melihat kesempatan baik bagi perubahan konstruktif di Aljazair dan berharap untuk “memainkan peran positif” dalam mendorong kompromi diantara pihak-pihak yang bertikai.
Setelah pemilu 1995, perusahaan-perusahaan Inggris, Perancis, dan Amerika menghasilkan beberapa kontrak besar di bidang energy bernilai milyaran dolar dengan pemerintah Aljazair untuk pembangunan tambang-tambang minyak dan gas nya. Kontrak-kontrak ini tentu saja terkait erat denagn kemenangan Zeroual dalam pemilu pluralistic pertama negara tersebut sejak 1991, menandakan kesiapan dunia bisnis untuk berinvestasi di Aljazair. Seperti diungkap seorang pengamat industry minyak: “anda tentu tidak akan mau menanam sekitar US$ 330 Juta Dollar setahun untuk tujuh tahun kedepan di sebuah negara yang anda duga pemerintahannya bakal ambruk. Dunia bisnis maupun para pemimpin barat tampak makin bisa mempercayai Aljazair. Dalam pandangan mereka, walaupun pembantaian brutal penduduk sipil meningkat, kubu-kubu Islam dari aliran paling keras tel;ah kehilangan dukungan masyarakat dan telah dilemahkan oleh tekanan militer dan oleh perselisihan internal mereka sendiri. Tahun 1996, ARCO menginvestasikan lebih dari US$ 1,5 miliar di Aljazair, dan Anadarko Petroleum Coorporation menanamkan US$ 100 juta untuk tahun itu saja. Puluhan pengusaha Amerika yang bekerja di sektor minyak dan gas Aljazair telah membantu pemerintahan Zeroual yang kekurangan uang dengan memberi keuntungan miliaran Dollar. Kucuran dana dari barat telah membantu rezim Aljazair memerangi dua musuhnya yaitu kelompok Islamis dan stagnasi ekonomi.

Dalam analisis akhirnya, posisi AS terhadap Aljazair adalah ditentukan oleh kepentingan geopolitik dan strategis. Walaupun Aljazair memiliki banyak minyak dan gas alam, negeri ini punya hubungan yang lebih dekat dengan Eropa dibanding dengan Amerika. AS selama ini mengambil jarak dengan Aljazair. Makin jauh sebuah negara dari kepentingan geostrategic AS, kebijakan Amerika terhadap negara itu cenderung makin mudah berubah. Kesimpulan ini konsisten dengan salah satu premis konseptual yang dikemukakan untuk  menjelaskan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Ketika kepentingan AS yang utama tidak sedang dipertaruhkan di sebuah negara yang jauh secara budaya dan strategis, amerika cenderung kurang bergantung pada kekuatan militer.
Cara-cara pemerintahan Bill Clinton yang terlihat smooth dan moderat dalam keikut campuran AS pada masalah yang sedang dialami oleh Aljazair pada saat krisis perlu kita apresiasikan. Namun, apapun caranya sepertinya memang AS memiliki tujuan yang sama, yaitu kepentingan AS sendiri. Seperti yang telah ditulis dalam pembahasan. Awal mulanya Keikut campuran AS dalam masalah ini tidak lain dan tidak bukan adalah karena wilayah strategis Aljazair yang memungkinkan akan terjadinya gelombang kekerasan yang semakin meluas. Yang berindikasi adanya perpecahan negara-negara yang telah pro terhadap Amerika karena saat itu masih berlangsung perang dingin. Namun, setelah Soviet jatuh, Amerika tidak lagi memandang serius masalah yang dihadapi oleh Aljazair. Keberadaan minyak dan gas alam yang melimpah yang saat itu memang tidak lepas dari nama Amerika, tidak membuat Amerika ingin menguasai Aljazair, hal ini karena pemerintahan Aljazair lebih dekat dengaan sekutu-sekutu Amerika. Namun, setelah pemilu yang berhasil dilakukan di Aljazair pada tahun 1995, sang pemimpin yang naik pada waktu itu, langsung di dekati oleh kubu Amerika. Hal ini yang mungkin mengubah kesimpulan yang tadinya mengatakan bahwa Amerika memandang serius Aljazair karena masalah persaingan pengaruhnya dengan Uni Soviet, ternyata AS juga berusaha untuk melakukan pendekatan-pendekatan dengan para pemimpin kelompok-kelompok yang bertikai di Aljazair. Dan ketika AS merasa pasca pemilu 1995 orang yang naik adalah Zeroual, yang diindikasikan memiliki kedekatan dengan AS, AS langsung cepat tanggap dan menawarkan berbagai pilihan yang pasti tawaran yang dianggap menguntungkan untuk Aljazair. Yang pada akhirnya banyak perusahaan Amerika yang siap untuk menginvestasikan usahanya di Aljazair. Amerika juga mengajak Aljazair untuk ikut melakukan perdagangan bebas dengan sistem ekonomi kapitalis seperti dengan membujuk Zeroual agar mau lebih terbuka terhadap asing dalam perusahaan-perusahaan yang ada di Aljazair baik milik pemerintah maupun swasta.

Dalam masalah ini, Aljazair harus lebih perkuat kebijakan-kebijakannya. Jangan lebih menyerap pengaruh asing. Walaupun AS memberikan cara-cara yang terlihat moderat, namun, AS seperti ysng kita ketahui adalah negara besar yang memiliki kepentingan di setiap kontribusinya untuk negara lain. Dan indikasi ini pun terbukti ketika AS banyak mengintervensi pemerintahan Zeroual. Seperti dengan mempengaruhi ekonomi Aljazair agar menjalankan ekonomi kapitalis. Bukti yang lebih nyata adalah cepatnya perusahaan-perusahaan asing terutama perusahaan AS menginvestasikan usahanya di Aljazair.
Intinya adalah setiap negara yang diintervensi oleh negara yang sedang menjadi negara hegemoni, kita harus selalu waspada. Seperti yang ada dalam Al-Qur’an bahwasannya kita harus senantiasa berhati-hati terhadap orang kafir. Karena mereka akan menggunakan segala cara untuk dapat menggoalkan rencana-rencananya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun