Mohon tunggu...
Ahonk bae
Ahonk bae Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Untuk Perdaban

Membaca, Bertanya & Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Buku Nasional, Peran Digital Serta Dampak Ambigu yang Banal

16 Mei 2022   22:27 Diperbarui: 16 Mei 2022   22:52 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak membaca buku, Dokpri/Facebook Nyekar Pustaka

Gaung Hari Buku Nasional jatuh pada tanggal 17 Mei yang dalam rotasi sejarahnya hal itu diperingati dengan di resmikannya perpustakaan nasional pada 2002 lalu oleh Abdul Malik Fajar pada masa itu, tepat 10 tahun berlalu. 

Namun dari adanya seremoni atas perayaan hari tersebut apakah memiliki dampak pada masa ini?

Meskipun dalam era saat ini Hari Buku Nasional hanya diperingati sebatas semangat dalam membagikan sebuah caption di kanal-kanal media sosial yang tentu tidak memiliki dampak signifikan dari adanya peringatan Hari Buku Nasional ditengah derasnya arus digitalisasi yang membuat sebagian orang enggan membaca buku cetak seperti apa yang memang seharusnya dikatakan sebagai buku, dan buku dalam era digital adalah sebuah nama lain dari format PDF misalnya

Buku yang dalam versi cetak atau buku yang biasa kita jumpai berbentuk kertas kini hanya terpajang di sudut rumah, sebagai kebutuhan pelengkap atau tersier dalam kehidupan manusia, lalu kemudian apa yang harus dirayakan dari peringatan Hari Buku Nasional tersebut? 

Apakah bukunya sebagai buku atau semangat dalam membuku tersebut? Sehingga hal ini menjadi konkret serta memiliki output yang berbeda atasnya

Jika hanya peringatan Hari Buku Nasional yang di peringatan sebagai buku saja maka seremoni tersebut hanya dirayakan oleh seorang biblionarsis semata dengan cara memajang koleksi bukunya di sosial media tanpa memiliki dampak apa-apa.

Namun jika yang diperingati dari Hari Buku Nasional adalah mereka yang membaca buku maka ini bisa dinikmati oleh semua orang dengan cara menuliskan apa yang pernah di bacanya, terlepas dari apakah ia memiliki koleksi buku Tetralogi Pramoedya atau tidak namun justru hal ini menjadi yang krusial dalam mengkerucutkan definisi spesifik dari makna Hari Buku Nasional tersebut.

Oleh sebab itu seremoni atas Hari Buku Nasional merupakan sebuah ambiguitas dari pemaknaan yang absen dari maksud sebuah buku tersebut, sebab buku tidak butuh dirayakan namun buku itu karena manusia butuh dengan pengetahuan.

Bergeser pada buku di era digitalisasi yang berubah wajah dengan 'di gampangkan' oleh akses internet yang dapat mengakses semua bahan bacaan apapun menjadikan buku saat ini tidak lagi memiliki 'passing grade' tdi hadapan pembaca, tanpa batas umur, tanpa memandang level pendidikan atau yang serumpun dengannya semuanya bisa di akses dengan begitu mudah hanya dengan syarat memiliki kuota dan kemudian 'log in' maka semua dapat terakses dan dapat di baca, sehingga seperti inikah pemaknaan dari Hari Buku Nasional pada saat ini? Entah.

Akantetapi era digitalisasi pada sebuah buku (bacaan) ini memiliki keuntungan tersendiri bagi mereka yang kurang memiliki cukup biaya untuk membeli buku versi cetaknya, dan lagi sebuah buku yang mungkin 'dilarang' untuk dikonsumsi karena mengandung unsur komunisme atau radikalisasi juga dapat terakses dengan begitu mudahnya dan lagi, tanpa memandang apapun. 

Sehingga Hari Buku Nasional merupakan sebuah ambiguitas yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang banal di hadapan era kebebasan informasi ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun