Mohon tunggu...
Ahonk bae
Ahonk bae Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Untuk Perdaban

Membaca, Bertanya & Menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilkades Indramayu pada Masa Pandemi, Pesta Pemodal

1 Februari 2021   10:30 Diperbarui: 1 Februari 2021   10:45 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan kepala desa (selanjutnya Pilkades) dengan segala kelebihan serta keterbatasannya memang sangat menarik di ulas dalam perjalanan demokrasi. Baik dengan segala kekurangan dari segi SDM hingga kekurangan pada alur demokrasinya itu sendiri. Sehingga sampai hari ini perjalanan Pilkades masih dalam tempo yang stagnan -- kemunduran enggan, kemajuan namun tanggung.

Desa yang saat ini berbeda dengan desa yang di persepsikan pada masa lalu, legkap dengan euforia sejuk dan keramahan masyarakatnya. Sebab persepsi kuno itu sudah berulang kali diulas dalam narasi yang juga tidak kunjung menemui titik klimaks. Desa yang dulu di persepsikan seperti itu kini hanya sampai pada figura yang melekat di dinding rumah kelas menengah atas, lengkap dengan gambar gunung dengan ari jernih mengalir hingga masyarakat yang sibuk memanen padinya. 

Namun pada akhirnya desa seperti yang di pesepsikan dalam lukisan itu di objektifikasi sedemikian rupa, sehingga tak ayal desa dan kota kini hanya di pisahkan oleh jarak. Bukan nilai kesantunannya, bukan ekonominya, bukan sistem gotong-royongnya, apalagi kebudayaanya -- sama sekali jauh dari yang kita persepsikan dulu. Jawabanya tentu bisa di tebak.

Jauh sebelum desa berubah menjadi replika bahkan di representasikan sebagai negara kecil. Desa telah menjadi tonggak demokrasi dalam skup kecil yang juga lengkap dengan intrik dalam dinamika politiknya yang dinamis. Sehingga kini desa telah berubah sedari esensi serta eksistensinya. 

Desa kini menjadi sasaran kepentingan dengan cara mengobjektifikasi segala sesuatu yang ada di dalamya, tak terkecuali sumber daya manusianya. Dengan berbagai kebijakan turunan, mulai pusat hingga daerah telah memaksa desa merubah wajah dan iconic-nya yang sejak dulu menjadi mercusuar siapapun. 

Kini dengan situasi yang tak jauh berbeda dengan kota, desa menjadi semacam objek atas eksploitasi dari para korporat yang sudah barang tentu memiliki kepentingan di dalamnya. Suberdaya bahkan potensinya yang secara umum bersumber dari sektor agrari dan bahari telah menjadi daya tarik utama pemangku kebijakan untuk menyulap dua sektor tersebut kedalam bentuk lain. Mulai dari wisata hingga industri, tentu dengan dalih percepatan pembangunan serta kemajuan ekonomi.

Pantas saja pada tahun 1964 D.N. Aidit. dengan lebih dari 40 kawannya melakukan sebuah riset di Jawa Barat. Dengan langkah awal melakukan mapping-actor sehingga menghasilakn pengkategorian 7 (tujuh) setan desa yang bisa dikatakan pengkategorian 'peghisap' itu masih relevan sampai hari ini; 1. Tuan Tanah Djahat, 2. Lintah Darat, 3. Tukang Idjon, 4. Kapitalis Birokrat, 5. Tengkulak Djahat, 6. Bandit Desa, dan 7. Penguasa Djahat. 

Ketujuh kategori itu manjadi berbahaya dalam sebuah progres atas kemajuan desa, namun ada yang lebih mengerikan kesemua itu, yaitu Setan Dasamuka yang bisa dikatakan sebagai penghisap paling jahat di desa, bukan multitalenta atau terampil, namun ia jahat sebab dalam satu tubuh manusia bisa menjadi ketujuh kategori itu demi menjadi penghisap masyarakat desa.

Dengan demikian desa yang di huni oleh Tujuh Setan Desa-nya hanya menjadi objek atasnya, yang ada hanya bagaimana mengatur kebijakan yang sama sekali tidak pro-rakyat dan melipatgandakan kekayaan dengan cara-cara yang masif. Asal memiliki kepentingan dan modal besar maka demokrasi bisa di kuliti sesukanya. Maka dengan ini bisa dikatakan bahwa desa bukan lagi milik rakyat yang menempati posisi teratas dalam bangunan demokrasi itu, melainkan pemodal dan penguasa djahat yang memiliki previlige atasnya.

Berkaca dari tersebut, sebentar lagi pesta demokrasi desa akan segera dilaksanakan yaitu pada 02 Juni 2021. Anggaran yang di gelontorkan mencapai Rp. 36M, ini mengalami kenaikan Rp. 10M sebab mengingat masa pemilihan tersebut mash dalam pandemi sehingga adanya penambahan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pemilihan kepala desa serentak khususnya Indramayu di Ikuti oleh 171 desa dan terdapat 1.800 TPS dengan ketentuan 500 DPT per-TPS.

Lalu bagaimana korelasinya dengan pengklasifikasian Tujuh Setan Desa yang di telah dibuat oleh Aidit tersebut dengan Pilkades? Pertama, di desa pun terdapat aktor pemodal, yang biasanya Kapitalis Birokrat, dalam konstelasi pemilihan kepala desa tersebut, sudah barang tentu dengan adanya MOU diantara calon dan pemodal tersebut, biasanya proyek atau program menjadi imbalan atas modal yang di investasikan pemodal tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun