"Desa tak melulu mengenai estetis dan pola pendidikan pragmatisnya, sekolah-bekerja-mati. Desa pada level ekonomisnya, lebih berfokus pada bagaimana membaca peluang, menciptakan peluang hingga menarik laba sebagai tendensi pragmatisnya."Â
Bukan desa fiktif yang seperti dimaksudkan oleh Mentri Keuangan tempo lalu yang tanpa penghuni namun mengajukan bebrapa anggaran.
Desa, bukan melulu mengenai alam yang indah dengan hamparan sawahnya sebagai tendensi atas dominasi estetiknya, kemudian mengenai kuatnya rasa persaudaraan atau gotong-royong dalam mengerjakan segala sesuatunya.
Bahkan tentang rendahnya pendidikan pada masyarakat yang akhirnya menjadi semacam ide besar dalam menyimpulkan definisi sebuah desa.
Desa yang telah didominasi dan dimobilisasi oleh beberapa orang yang berkiprah dalam usahanya membangun sebuah tatanan masyarakat sejahtera serta menjauhkannya dari embrio ego-sentris dan merubahnya menjadi semcam etno-sentris. Tentu yang berdaulat dan berkelanjutan.
Menjadi objek serta menjadi acuan dalam pembangunan baik SDM maupun SDA adalah juga menjadi pekerjaan sebuah desa.
Itulah yang telah diproyeksikan oleh pemerintah melalui berbagai programnya: mengejar standarisasi ekonomi dan memperbaiki taraf hidup masyarakatnya yang selama ini dirasa jauh dari kata sejahtera. Desa kemudian menjelma menjadi agenda prioritas pemerintah.
Melalui suntikan dana, melalui kebijakan strategisnya dan melalui kanal-kanal lainnya yang bermuara pada kemajuan.Â
Dengan tanpa serta merta mendegradasikan kebudayaan yang telah eksis, juga tak luput dari optik pemerintah daerah yang juga menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Jelas hal ini patut kita amini dan mendukung sepenuhnya.Â
Tonggak utama desa hari ini adalah kepala desa (baca; kades/kuwu) yang pada saat ini telah juga menjadi front man atas maju atau mundurnya sebuah desa, baik dari sisi administratif dan juga pada sisi program-aplikatifnya.