Mohon tunggu...
Agung Dwi
Agung Dwi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

pengagum liberalisme, dan pecinta fiksi misteri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hai orang Indonesia, berhentilah memperdebatkan selera !

24 Juni 2016   16:31 Diperbarui: 24 Juni 2016   18:23 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa sih yang hari gini tidak punya akun jejaring sosial dan/atau akun forum diskusi yang bejibun jumlahnya, tidak masalah apapun forum atau sosmed-nya. Sempat bernostalgia dengan akun friendster?—hehe—, facebook, twitter, path, instagram, kaskus, idws, kumpulbagi, novel, kompasiana, atau malah punya semua? It’s okay, really okay. Jika dicermati, apa persamaan dari sekian banyak situs jejaring sosial tersebut? Yah, selalu saja ada orang-orang yang nyinyir, anggota klub bully. Saat ada postingan yang sedikit nyeleneh, mereka langsung berbondong-bondong muncul bak jamur di musim hujan.

Konon dahulu kala mbah Immanuel Kant pernah bilang tidak ada gunanya memperdebatkan selera, setuju. Pacar anda mencampakkan anda yang cuma bawa astrea grand karena memilih orang lain yang bawa grand livina? Anggap saja itu selera dia, perjuangkan seperlunya saja. Tapi selera tidak seganas itu kok, begini saja, anda lebih suka mendengarkan lagu-lagu gaharnya Cannibal Corpse , sedangkan saya suka nyetel lagunya mbak Waljinah, no problemo, kalau kita mau debat mana yang lebih bagus juga sampai kiamat kubro juga gak akan selesai. Lidah anda lebih suka mencicipi bakso urat, sedangkan saya suka mampir ke rumah makan ayam goreng, saya nggak perlu mendebat anda, dan anda juga nggak perlu mempertanyakan lidah saya. Adil to. Anda nggak perlu buang-buang tenaga mendebat saya yang suka Heaven’s a lie-nya Lacuna Coil hanya karena anda sekedar mendengar judulnya. Saya juga nggak perlu mendebat gaya rambut anda yang ber-pomade klimis hanya karena dandanan saya tidak serupa.

Balik ke sosmed, kadang kelakuan tim bully disana nggak pakai nanggung, berbagai macam kata dari isi kebun binatang sampai yang belakangan sedang hot yakni pelabelan kafir pada orang yang dianggap tidak sejalan dengan mereka, lah berapa jumlah dosa aja anda nggak bisa lihat, kok main kafir-kafirin. Dan yang mereka perdebatkan biasanya hal-hal yang babar blas enggak penting, contohnya foto Pak Presiden sarungan menkmati sunrise di Raja Ampat awal tahun ini digunjingkan, mulai dari foto yang katanya editan sampe busana yang dikenakan beliau, kalau Pak Joko jalan-jalan di mall pake baju renang, nha, silahkan diperdebatkan, suka-suka dia mau sarungan, mau pake celana gombrong, celana pensil, spidol, drawing pen, atau cat air, yang membatasi cuma kepantasan karena posisi sebagai Presiden aja toh. Munculnya bermacam fanspage guyonan juga memperparah keadaan, bukan saya gak setuju dengan keberadaaan akun-akun itu, saya juga follow kok beberapa diantaranya, tapi yang parah adalah nggak semua admin akun tersebut paham batasan-batasan bersosial media. Ada foto orang dengan dandanan sedikit culun di ­repost lalu di bully ramai-ramai, dengan menganut mazhab pokoknya-asal-ikut-yang-ramai-ramai-pasti-bener-lah mereka berkomentar. Asek bener.

Mbak-mbak mas-mas yang tampil keren selfie di resto mewah, cafe, di dalam mobil mah aman, mentok-mentoknya paling kalau ada yang jengah lihat foto jalan-jalan kalian yang di caption-nya gak lupa pake #explore #exploring bla, bla, bla. Sebenernya saya eneg juga lihat budaya populer semacem itu, dengan go pro, ngetrip, exploring, tapi yang saya tahu pasti, itu duit-duit mereka, waktu-waktu mereka, kuota internet juga kuota mereka, asal nggak melanggar norma, saya memilih tidak latah sekaligus tidak peduli. Asline ora due duit.

Biasanya untuk hal-hal seperti ini ada yang ngegongin, ngomporin, menyulut api, menyulut bara dalam sekam, membakar semangat anggota tim bully untuk terus mencari bahan bully-an. Mari kita ambil contoh akun berinisial J yang rajin bener ngocehin pemerintah, iyo lah jenenge Jonru, wes ora usah khusnuzon. Betapa banyak anggota klub bully di akun dia, silahkan diintip saja postingannya di facebook, jangan nyuruh saya, saya sudah di blokir gara-gara bertanya ‘kok tiap posting yang ngocehin pemerintah komentarnya bisa ratusan bahkan ribuan, tapi postingan jualan yang komen paling pol puluhan? Ngatain orang dengan istilah cina tapi jualan obat juga labelnya huruf mandarin, pengikut akunnya hampir 1 jeti, tapi ngadain seminar yang datang 10 biji?’, akhirnya di blokirlah saya. Ada adagium yang beredar di fesbuk, konon tingkat kewarasan seseorang bisa diukur dengan perlakuan bang Jonru, cobalah berkomentar, kalau akun anda di blokir artinya masih waras, dan sebaliknya. sekali lagi cuma konon lho dab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun