"Ruang sidang Wijoto sebelah mana, Pak?" tanya Ben kepada petugas, yang menjawab dengan menunjuk lantai tiga.
"Tidak ada lift, Pak?" tanya Ben lagi.
"Ada tapi dimatikan, Mas. Biar petugas anti rasuah sulit menyelinap ke kantor ketua!" kelakar petugas.
Ben tidak sempat menanggapi gurauan itu. Pikirannya terlalu tegang. Ini kali pertama ia menghadiri sidang Bu Yeni sendirian. Sial baginya, pengacara
seniornya tidak bisa hadir tepat saat agenda pembelaan.
Selepas Subuh tadi ia baru dikabari Bang Herman lewat pesan singkat.
'Yok, saya mendadak harus jemput mertua,' bunyi pesan itu.
Ben tidak paham mengapa Bang Herman selalu membawa-bawa nama mertuanya sebagai alasan. Sebegitu besar kah kuasa mertua? Ia belum mengerti hierarki wewenang di dunia perkawinan.
Sepengetahuannya Ayah lah paling berkuasa. Pernah Ben dijejal sepuluh batang rokok oleh Ayah lantaran dituduh merokok di sekolah. Asapnya terasa mengebul sampai ke otak. Padahal temannya yang menaruh bungkus rokok itu ke dalam tasnya. Namun sorot mata Ayah begitu tajam, hingga Ben tak ada nyali untuk membela diri.
Di masa Ben sekolah, 'perundungan' belum punya nama. Mengerjai dan mencaci teman adalah biasa. Ben pernah diberi bermacam-macam julukan yang dibencinya: si keling, si tonggos dan si doyok. Yang terakhir ini melekat hingga dewasa.
"Nama kau Benyamin. Bukan Doyok!" kata Ayah pada suatu hari, "Kalau orang memanggilmu sesuka hati, tanya ke dia apa haknya berbuat begitu!"
Sering sekali Ayah berbicara mengenai hak dan wewenang. Ia benci setengah mati dengan siapa pun yang merampas hak orang lain, maupun menyalahgunakan wewenangnya sendiri.