Mohon tunggu...
Ahmad Zainudin
Ahmad Zainudin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Tempat diskusi paling bebas dan aman adalah ruang kelas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyikapi "Logical Fallacy" dalam Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik terhadap Peserta Didik

7 April 2019   17:23 Diperbarui: 7 April 2019   17:27 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dalam kehidupan bermasyarakat orang dituntut untuk memiliki logika berpikir yang objektif. Tujuannya untuk orang agar memiliki suatu pandangan dalam suatu masalah yang memiliki alat ukur pasti dengan didukung oleh fakta/data. Sehingga dapat mengambil kesimpulan yang tepat dalam suatu masalah.

Sederhananya berpikir objektif melihat "Apa yang dilakukan" bukan berdasarkan subjektif yaitu "Siapa yang melakukan".

Dalam kasus misalnya, seorang pejabat negara melakukan tindakan korupsi. Orang yang berpikir objektif akan berkata, "Pejabat itu salah karena telah melanggar undang-undang dan merugikan negara. Sementara orang yang berpikir subjektif akan berkata "Tidak apa-apa toh jumlah yang diambilnya juga sedikit dan ada motif tersendiri dibalik tindakan korupsinya".

Dari dua respon diatas, berpikir objektif melihat dari sudut pandang fakta yaitu pelanggaran konstitusional terhadap negara. Sedangkan, berpikir subjektif hanya melihat dari sudut asumsi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Cara berpikir yang salah inilah merupakan cikal bakal dari bentuk cacat berpikir/logical fallacy: Appeal to Belief, yaitu logical fallacy dimana argumen untuk mendukung atau menolak suatu hal berdasarkan kepercayaan personal yang artinya sangat subjektif. Pada kesempatan ini penulis ingin mengaitkan logical fallacy dengan proses akademis penilaian hasil belajar oleh pendidik (guru) terhadap peserta didik (siswa).

Logical Fallacy yang terjadi dalam proses penilaian hasil belajar oleh guru terhadap siswa akan mengakibatkan hilangnya kredibilitas guru itu sendiri dalam proses pembelajaran.

Seperti kita ketahui ada 3 aspek yang diukur dalam menentukan standar kriteria penilaian terhadap siswa (Mendikbud, 2016). Yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Tiga aspek ini, berati penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas  harus diukur secara objektif bukan campur aduk asal-asalan logical fallacy.

Seperti halnya dalam aspek penilaian sikap, guru harus melihat secara objektif perkembangan sikap siswa melalui pengamatan sejak awal semester hingga akhir semester. Menggunakan instrumen rubrik yang berisikan catatan perilaku siswa serta tindak lanjut dari perilaku mereka. Secara objektif.

Logical fallacy nya guru mencatat di awal semester bahwa seorang siswa memiliki catatan perilaku buruk, dan di akhir semester siswa tersebut memunculkan parameter perubahan perilaku berubah baik yang di dukung dengan pengamatan guru lain. Namun karena alasan sentimen pribadi dengan siswa, guru tetap memberikan penilaian sikap secara subjektif dengan mencatatkan perilaku tidak adanya perubahan. Sangat disayangkan.

Dalam kasus lainnya, seorang siswa membolos tanpa keterangan selama seminggu, ketahuan merokok disekolah, dan memang nakalnya kelewatan. Logical fallacy jangan langsung memberhentikan siswa seenaknya, karena paradigma yang muncul di lingkungan pendidik selama ini "Jika siswa tidak bisa dibina, ya harus dibinasakan untuk menjaga nama baik sekolah". Karena siswa yang bermasalah berpotensi merusak nama baik sekolah.

Sikap ini tidak boleh muncul dalam sikap personal guru karena hakikatnya "Guru itu digugu dan ditiru". Pelajari kenapa perilaku siswa itu bisa terjadi, panggil dan rangkul siswa. Alangkah sejuknya jika guru memiliki sikap mulia, tidak perlu seperti malaikat tapi memiliki hati satu strip dibawah malaikat.  

Lebih jauh lagi dalam aspek penilaian pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik. Alat ukurnya berupa hasil belajar harian, ulangan tengah semester, penugasan, dan penilaian akhir semester. Lagi, liat secara objektif.

Logical fallacy guru terkadang dipengaruhi oleh aspek-aspek subjektifitas sosial dalam mengukur aspek penilaian pengetahuan dan keterampilan. Misal, "siswa A" diberi nilai lebih tinggi karena kedekatannya secara personal dengan guru tersebut. "Anak guru" diberi keistimewaan dalam pemberian keputusan penilaian akhir. Atau memberikan nilai di atas standar karena sikap anak tersebut "Penurut" pendiam dan tidak banyak ulah dikelas.

Ada juga jika seorang siswa dianggap lebih berkompeten dari siswa lainnya, guru cenderung selalu membenarkan setiap argumen yang siswa tersebut paparkan dalam berdiskusi di kelas. Lantas mengabaikan siswa lain dengan cara memotong pendapat mereka.

Isu soal ketimpangan kesetaraan gender juga terjadi dalam penilaian hasil belajar seperti di dalam buku Axel Aubrun dan Joseph Grady berjudul Gender equity in School.

Logical Fallacy nya jika siswa laki-laki cenderung dianggap "kuat", maka dalam penilaian hasil belajar PJOK (Pendidikan Jasmani Olahraga Kesehatan) mereka selalu mendapatkan nilai bagus. Sebaliknya, jika siswa perempuan cenderung lebih ke bidang seni dan keterampilan maka wawasan mereka lebih luas dibanding siswa laki-laki.

Parahnya lagi logical fallacy jika seorang guru menilai dari subjektifitas rupa/fisik siswa. Guru laki-laki melihat rupa/fisik siswa perempuan cantik, senyumnya manis, berbadan tinggi, hidung mancung, putih ditambah sering ngobrol lewat sosial media/chat, oke nilainya hampir mendekati angka sempurna 100.

Sebaliknya guru perempuan melihat rupa fisik siswa laki-laki ganteng, macho, badan atletis, suara berat, dan mirip oppa korea oke tanpa siswa tersebut mengerjakan tugas pun nilainya ditembak diatas KKM.     

Isu-isu penilaian hasil belajar yang bersifat logical fallacy sebaiknya dihindarkan oleh pendidik karena jelas mencederai objektifitas nilai akademis. Karena sejatinya penilaian hasil belajar yang digunakan oleh pendidik harus sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik bukan berdasarkan subjektifitas sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun